Sistem Ekonomi dalam ISLAM



Sistem Ekonomi dalam Islam ditegakkan diatas tiga tiang utama, yakni konsep kepemilikan (al-milkiyah) , pemanfaatan kepemilikan (al-thasharruf fi al-milkiyah) dan distribute kekayaan diantara manusia (tauzi’u tsarwah bayna al-naas). Kepemilikan ini dibagi tiga, yakni :
1.      kepemilikan individu (milkiyatu al-fardiyah) , yaitu kepemilikan atas izin syar’i pada seseorang untuk memanfaatkan harta itu kerana sebab-sebab kepemilikan harta yang diakui oleh syara’;
2.      kepemilikan umum (milkiyatul al-‘amah), adalah harta yang mutlak diperlukan manusia dalam kehidupan sehari-hari (api, padang rumput, sungai, danau, jalan, lautan, mesjid, udara, emas, perak dan minyak wangi.dsb) yang dimanfaatkan secara bersama-sama. Pengelolaan milik umum ini hanya dilakukan oleh negara untuk seluruh rakyat, dengan diberikan percuma atau dengan harga murah hanya mengambil sedikit upah perkhidmat ; dan
3.      kepemilikan negara (milkiyatul al-daulah), harta yang pemanfaatannya berada ditangan seorang pemimpin sebagai kepala negara. Milik negara digunakan untuk berbagai keperluan yang menjadi kewajiban negara, seperti menggaji pegawai negara, keperluan jihad dan sebagai.

Kepemilikan individu adalah izin dari syara’ (Allah SWT) yang memungkinkan siapa saja untuk memanfaatkan dzat maupun kegunaan (utility) suatu barang serta memperoleh kompensasi – baik karena barangnya diambil kegunaannya oleh orang lain seperti disewa, ataupun karena dikonsumsi untuk dihabiskan zatnya seperti dibeli – dari barang tersebut (AnNabhani, 1996; Yusanto, 1998). Setiap orang bisa memiliki barang atau harta melalui cara-cara tertentu, yang disebut sebab-sebab kepemilikan (asbabu al-tamalluk) .

Pengkajian terhadap hukum-hukum syara’ menunjukkan bahwa sebab-sebab kepemilikan individu terdiri dari lima perkara, yakni:
·         Bekerja (al-a'mal)
·         Warisan (al-irts)
·         Harta untuk menyambung hidup
·         Harta pemberian negara (i'thau al-daulah)
·         Harta-harta yang diperoleh oleh seseorang dengan tanpa mengeluarkan daya dan upaya apapun.

Dalam konteks bisnes, dari kelima sebab di atas hanya sebab pertamalah yang dapat dikategorikan ke dalam kegiatan bisnes. Bekerja dalam pandangan Islam diarahkan dalam rangka mencari kurnia rezki Allah SWT. Yakni untuk mendapatkan harta agar seseorang dapat mencukupi keperluan hidupnya, sejahtera dan dapat menikmati perhiasan dunia. Dan agar bernilai ibadah, maka pekerjaan yang dilakukan itu harus merupakan pekerjaan yang halal. Sehingga harta yang didapatnya juga merupakan harta yang sah atau halal karena melalui cara yang halal.




Politik Ekonomi Islam
Politik ekonomi adalah tujuan yang ingin dicapai oleh hukum-hukum yang mengatur berbagai urusan manusia. Politik ekonomi Islam adalah jaminan pemenuhan seluruh kebutuhan pokok bagi setiap individu secara menyeluruh, dan pemberian peluang kepada individu untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pelengkap menurut kemampuan-nya, dengan memandangnya sebagai individu yang hidup dalam masyarakat tertentu yang memiliki cara hidup yang khas. Politik ekonomi Islam tidak lain merupakan solusi bagi masalah-masalah mendasar bagi setiap individu dengan memandangnya sebagai manusia yang hidup sesuai dengan pola interaksi tertentu, serta memberikan peluang kepadanya untuk meningkatkan taraf hidupnya dan mewujudkan kemakmuran bagi dirinya di dalam cara hidup yang khas.
Ketika Islam mensyariatkan hukum-hukum perekonomian bagi manusia, maka itu ditujukan untuk individu. Pada saat yang sama, Islam menjamin hak hidup dan mewujudkan kemakmuran. Islam menetapkan hal itu direalisasikan di dalam masyarakat tertentu yang memiliki cara hidup yang khas. Oleh karena itu, syariah memberikan hukum-hukum yang menjadi mekanisme yang menjamin terwujudnya pemuasan seluruh kebutuhan pokok secara menyeluruh bagi setiap individu rakyat. Mekanisme itu sebagai berikut:
  1. Islam mewajibkan laki-laki yang mampu untuk bekerja guna memenuhi kebutuhan pokok bagi dirinya dan orang yang wajib dia nafkahi (QS 67: 15).
  2. Islam mewajibkan para ayah untuk menanggung nafkah. Jika ayah tidak mampu maka kewajiban beralih kepada ahli warisnya (QS 2: 233).
  3. Jika tidak ada orang yang wajib menanggung nafkah mereka, Islam mewajibkannya atas Baitul Mal. Dengan mekanisme ini, Islam telah memberikan jaminan pemenuhan kebutuhan pokok—yaitu kebutuhan pangan, papan dan sandang—bagi setiap individu, perindividu.
Siapapun penduduk negeri yang bangun pagi, sementara di tengah-tengah mereka terdapat orang yang kelaparan, maka jaminan Allah dan Rasul-Nya telah terlepas dari mereka.
Kemudian Islam mendorong individu itu bekerja dan menikmati kekayaan yang dia peroleh (QS 5: 88; 67: 15). Hal itu untuk merealisasikan kemajuan ekonomi di negeri tersebut, untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok bagi tiap-tiap individu, serta memberi peluang individu itu untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pelengkapnya.
Untuk itu, Islam tidak memperumit cara yang digunakan manusia untuk mendapatkan harta itu. Islam menetapkannya dengan sangat sederhana, yakni dengan membatasi sebab-sebab kepemilikan dan membatasi akad-akad dalam pertukaran kepemilikan. Islam membiarkan manusia untuk berkreasi dalam hal cara dan sarana yang digunakan untuk memperoleh harta; Islam tidak ikut campur dalam teknik produksi harta.




Pandangan Islam Terhadap Harta
Sesungguhnya harta adalah alat untuk tiga tujuan: tabungan (iddikhâr), belanja (infâq), dan sirkulasi (tadâwul).
Islam telah menetapkan hukum-hukum bagi masing-masing peruntukan harta itu yang menjamin harta tetap sebagai pelayan manusia untuk dimanfaatkan dan memberikan manfaat kepada orang lain; bukan sebaliknya, yaitu manusia menjadi hamba dan pelayan harta yang menimbulkan bahaya bagi diri sendiri dan orang lain.
Mengenai hukum tabungan (iddikhâr), seseorang boleh menabung mengumpulkan biaya untuk keperluannya. Namun, atas harta tabungan harus ditunaikan zakatnya setelah berlalu satu haul dan telah mencapai nishâb zakat. Adapun menabung hanya sekadar untuk menabung, menimbun dan menghimpunnya saja adalah haram (QS 9: 34).
Mengenai belanja (infâq), Islam menetapkan mana pembelanjaan yang wajib, yang sunah, mubah, makruh dan yang haram.
Adapun masalah sirkulasi (tadâwul), Islam telah mengaturnya melalui dua aspek:
  1. Islam menetapkan uang dan membatasinya dengan emas dan perak, bukan yang lain.
  2. Islam menjelaskan berbagai muamalah syar’i yang sah, seperti hukum-hukum perseroan (syirkah), akad sewa dan tenaga kerja (ijârah), perdagangan (tijârah), pertanian, mengairi kebun (musâqah), jual-beli, pesanan (salam), penukaran uang (sharf), wakalah, dan seterusnya. Islam juga menetapkan bahwa industri mengikuti hukum barang yang diproduksi.

Pandangan Islam Terhadap Uang
Islam telah menentukan emas dan perak sebagai mata uang. Islam telah menetapkan hanya emas dan perak saja yang menjadi standar mata uang untuk mengukur barang dan jasa. Berdasarkan asas emas dan perak berlangsung semua bentuk muamalah. Islam menetapkan standar untuk uang emas (dinar) dan perak (dirham): 1 dinar=4,25 gram emas murni dan 1 dirham=2,975 gram perak murni.







Pengharaman Riba Secara Keras
Nash-nash syariah telah mengharamkan riba dengan sangat keras. Nash-nash itu bersifat qath’i ats-tsubût (pasti sumbernya) dan qath’i ad-dilâlah (pasti pengertiannya), tidak menyisakan ruang bagi ijtihad atau penakwilan (QS 2: 275–279).
Karena itu, sistem keuangan di negara Khilafah tidak mengenal bank dan lembaga kredit ribawi yang sudah masyhur di dalam Kapitalisme. Ketiadaan lembaga ribawi ini memiliki tiga dimensi dalam menjamin kehidupan perekonomian yang aman:
  1. Mengarahkan fokus masyarakat pada ekonomi produktif atau sektor riil.
  2. Melindungi kaum Muslim dan ahl adz-dzimmah dari kerugian harta mereka karena riba.
  3. Tidak akan memunculkan fenomena kebangkrutan, sebagaimana terlihat pada bank-bank kapitalis, dan menyisakan kelompok besar orang yang kehilangan harta mereka atau rekening mereka menguap. Dengan menghalangi sistem riba dan mengharamkannya secara keras dan tegas, Islam telah menutup celah-celah yang memungkinkan masuknya krisis keuangan. Dengan itu kehidupan kaum Muslim akan tetap aman, kokoh dan kuat terhadap krisis.
Selain itu, Islam mendorong kaum Muslim untuk saling memberi utang di antara mereka. Lebih dari itu, di antara tugas berbagai institusi (direktorat) di negara Khilafah adalah menyediakan kredit tanpa riba dalam sektor pertanian, perdagangan dan industri, dalam kerangka program negara untuk mengembangkan perekonomian dan menjalankan berbagai kebijakannya untuk memerangi kemiskinan dengan menciptakan lapangan kerja dan menjamin produksi barang.

Distribusi dan Kepemilikan Harta
Hukum-hukum distribusi harta dalam Islam mencakup sebuah pemahaman yang unik, yaitu kepemilikan umum. Islam menetapkan kepemilikan dalam negara Khilafah ada tiga jenis: kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara. Negara adalah pihak yang melindungi dan menjaga ketiga jenis kepemilikan itu sesuai dengan hukum-hukum syariah.
Kepemilikan umum mencakup:
1. Harta yang dari sisi pembentukannya tidak mungkin dimiliki secara individu, seperti sungai, danau, laut, dsb.
2. Apa saja yang menjadi hajat hidup orang banyak seperti jalan, masjid, dsb; termasuk yang disabdakan oleh Rasulullah saw.:
Kaum Muslim berserikat dalam tiga jenis harta: air, padang gembalaan dan api.
Termasuk dalam cakupan pengertian api adalah seluruh jenis energi yang digunakan sebagai bahan bakar bagi industri, mesin, dan transportasi. Demikian pula industri gas yang digunakan sebagai bahan bakar dan industri batubara. Semua itu adalah kepemilikan umum.
3. Barang tambang yang depositnya banyak dan tidak terputus; baik yang berbentuk padat, cair maupun gas; baik tambang dipermukaan maupun di dalam perut bumi. Semuanya merupakan kepemilikan umum.
Negara Khilafah adalah pihak yang mengelola berbagai kekayaan itu baik dalam hal eksplorasi, penjualan, maupun pendistribusiannya. Negara Khilafah-lah yang menjamin hak setiap rakyat untuk menikmati haknya dalam kepemilikan umum tersebut. Negara Khilafah mendistribusikan hasil bersihnya, setelah dikurangi biaya-biaya, dalam bentuk zatnya dan atau dalam bentuk pelayanan kepada semua warga negara.
Adapun kepemilikan negara ada pada harta yang hak pengelolaannya berada di tangan Khalifah sesuai dengan pandangan dan ijtihadnya, seperti harta fai’kharâj serta harta orang yang tidak memiliki ahli waris dan semisalnya, dengan syarat syariah memang tidak menentukan arah pengelolaannya. Khalifah mengelola kepemilikan negara sesuai dengan pandangan dan ijtihadnya dalam berbagai urusan negara dan rakyat. Misal: untuk menciptakan keseimbangan finansial di tengah masyarakat sehingga harta itu tidak hanya beredar di tangan orang-orang kaya saja (QS 59: 7). Khalifah boleh memberikan harta itu kepada orang miskin saja dan tidak memberikannya kepada orang kaya. Hal itu seperti yang pernah dilakukan Rasulullah dalam pembagian fai’ Bani Nadhir.
Sementara itu, kepemilikan individu adalah harta yang pengelolaannya diserahkan kepada individu, pada selain harta milik umum. Kepemilikan individu itu terlindungi. Negara tidak boleh melanggarnya. Tidak ada seorang pun yang boleh merampasnya, termasuk negara sekalipun. Nasionalisasi, yaitu penguasaan negara terhadap kepemilikan individu, merupakan bentuk perampasan dan merupakan dosa besar.

Bursa dan pandangan Islam Terhadapnya
Pasar modal dan bursa berjangka komoditas dalam sistem Kapitalisme berperan penting seperti riba dalam mengkonsentrasikan kekayaan pada tangan segelintir orang. Lebih dari itu, bursa juga menghalangi sirkulasi harta di sektor riil, dan mengubahnya menjadi per-ekonomian angka dan kertas (ekonomi non-riil).
Dalam pandangan Islam, pasar jual beli harus diatur dengan hukum syariah yang menjamin tidak adanya konflik dan tidak adanya aktivitas memakan harta dengan jalan yang batil. Di antara hukum-hukum itu adalah:
1.      Melarang penjualan barang yang belum dimiliki oleh penjual dan belum berada di bawah kuasanya seperti yang terjadi dalam bursa berjangka komoditas.
2.      Melarang tanâjusy atau spekulasi, yaitu menaikkan tawaran bukan untuk membeli, tetapi hanya untuk menaikkan harga jual.
3.      Melarang jual-beli enam jenis komoditas ribawi (emas dan perak [termasuk uang], gandum, jewawut, kurma, dan garam) tanpa serah-terima secara langsung dalam jual-beli antar jenis yang berbeda; dan tanpa serah-terima langsung dan kesamaan jumlah dalam jual pada jenis yang sama.
4.      Melarang sirkulasi saham karena perseroan terbatas (PT) dan sahamnya adalah batil (tidak sah). Saham itu merupakan surat berharga yang mengandung campuran antara
sejumlah modal yang halal dan keuntungan yang haram, dalam satu akad yang batil dan muamalah yang batil, tanpa bisa dibedakan antara harta yang halal dan yang haram. Syariah Islam juga melarang sirkulasi dan jual-beli obligasi (bonds). Sebab, obligasi merupakan surat utang yang diinvestasikan dengan riba. Apalagi ada keharaman jual-beli utang dengan utang. Sirkulasi dan jual beli seluruh surat berharga ribawi juga dilarang.
Walhasil, pasar jual-beli dalam Islam merealisasikan perdagangan yang halal, aman serta bebas dari krisis, konflik, spekulasi, gambling, dan penipuan. Pasar dalam Islam merupakan pasar yang bersih yang senantiasa memperhatikan hukum-hukum syariah dalam sirkulasi harta.

Pengaturan Perekonomian oleh Negara
Negara wajib menjamin penciptaan lapangan kerja bagi setiap warga negara. Orang miskin yang tidak mampu bekerja dan tidak memiliki kerabat yang wajib menafkahinya, begitu pula orang fakir yang mampu bekerja tetapi tidak menemukan pekerjaan, sementara ia tidak memiliki kerabat yang wajib menafkahinya, maka nafkah mereka ini menjadi kewajiban negara.
Jadi, bagi orang yang mampu, negara bertanggung jawab menciptakan lapangan kerja. Bagi orang yang tidak mampu, negara berkewajiban memenuhi kebutuhan mereka dari harta Baitul Mal. Hukum-hukum ini mencakup pula kaum dzimmi yang tinggal di Dâr al-Islâm. Mereka diberi hak yang sama sebagai rakyat dan warganegara. Mereka berhak mendapatkan pemeliharaan berbagai urusan mereka dan jaminan kehidupan mereka sebagaimana yang dinikmati kaum Muslim.

Kontrol dalam Sistem Ekonomi Islam
Lembaga-lembaga kontrol akan menjamin lurusnya sistem ekonomi menurut arahan yang telah dijelaskan dalam syariah. Lembaga-lembaga kontrol dalam Sistem Ekonomi Islam dapat diringkas sebagai berikut:
  1. Kekuasaan al-Hisbah (wilâyah al-hisbah). Al-Muhtasib (hakim hisbah) melakukan kontrol terhadap pasar, timbangan, takaran, dan penipuan di pasar dan tempat-tempat umum serta memonitor berbagai pelanggaran lainnya.
  2. Kekuasaan peradilan (wilâyah al-qadhâ’). Peradilan menyelesaikan semua perselisihan, termasuk perselisihan finansial dan ekonomi, yang kadang muncul dalam muamalah keseharian masyarakat.
  3. Berbagai biro (diwân), yaitu berbagai alat untuk mengontrol dan mengaudit aliran harta di Baitul Mal yang terkait dengan harta zakat, harta negara, dan harta yang termasuk kepemilikan umum. Biro tersebut menangani kontrol terhadap pemungutan dan pembelanjaan agar setiap aliran harta terjadi pada tempatnya secara benar.
  4. Kekuasaan Mazhalim (wilâyah al-mazhâlim). Mazhâlim menangani pengaduan yang diajukan melawan penguasa jika mereka melakukan kezaliman terhadap rakyat dalam segala kebijakan di segala bidang, termasuk kebijakan finansial dan ekonomi
Ilmu ekonomi Islam pada dasarnya merupakan perpaduan antara dua jenis ilmu yaitu ilmu ekonomi dan ilmu agama Islam (fiqh mu’amalat). Sebagaimana layaknya ilmu-ilmu lain, ilmu eknomi Islam juga memiliki dua objek kajian yaitu objek formal dan objek material. Objek formal ilmu ekonomi Islam adalah seluruh sistem produksi dan distribusi barang dan jasa yang dilakukan oleh pelaku bisnis baik dari aspek prediksi tentang laba rugi yang akan dihasilkan maupun dari aspek legalitas sebuah transaksi. Sedangkan objek materialnya adalah seluruh ilmu yang terkait dengan ilmu ekonomi Islam.
Dengan mengetahui objek formal dan material sebuah ilmu, maka akan dapat ditelusuri eksistensinya melalui tiga pendekatan yang selalu dipergunakan dalam filsafat umum yaitu pendekatan ontologis, epistemologis, dan aksiologis . Pendekatan ontologis dijadikan sebagai acuan untuk menentukan hakikat dari ilmu ekonomi Islam. Sedangkan pendekatan epistemologis dipergunakan untuk melihat prinsip-prinsip dasar, ciri-ciri, dan cara kerja ilmu ekonomi Islam. Dan pendekatan aksiologis diperlukan untuk melihat fungsi dan kegunaan ilmu ekonomi Islam dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang dihadapi manusia dalam kehidupan sehari-hari.
Secara ontologis, ilmu ekonomi Islam membahas dua disiplin ilmu secara bersamaan. Kedua disiplin ilmu itu adalah ilmu ekonomi murni dan ilmu fiqh mu’amalat. Dengan demikian, dalam operasionalnya ilmu ekonomi Islam akan selalu bersumber dari kedua disiplin ilmu tersebut. Persoalan ontologis yang muncul kemudian adalah bagaimana memadukan antara pemikiran sekular ilmu ekonomi dengan pemikiran sakral yang terdapat dalam fiqh mu’amalat. Persoalan ini muncul mengingat bahwa sumber ilmu ekonomi Islam adalah pemikiran manusia sedangkan sumber fiqh mu’amalat adalah wahyu yang didasarkan pada petunjuk Al-Qur’an dan Hadits Nabi. Perbedaan sumber ilmu pengetahuan ini menyebabkan munculnya perbedaan penilaian terhadap problematika ekonomi manusia. Sebagai contoh, ilmu ekonomi akan menghalalkan sistem ekonomi liberal, kapitalis, dan komunis sejauh itu dapat memuaskan kebutuhan hidup manusia. Tetapi sebaliknya, fiqh mu’amalat belum tentu dapat menerima ketiga sistem itu karena dia masih membutuhkan legislasi dari Al-Qur’an dan Hadits. 
Dari sisi lain, teori kebenaran ilmu ekonomi Islam dan ilmu fiqh mu’amalat tentu saja berbeda secara diametral. Tolok ukur kebenaran dalam ilmu ekonomi selalu mengacu kepada tiga teori kebenaran yang dipakai dalam filsafat ilmu yaitu teori koherensi (kesesuaian dengan teori yang sudah ada), teori korespondensi (kesesuaian dengan fenomena yang ada), dan teori pragmatisme (kesesuaian dengan kegunaannya) . Sedangkan teori kebenaran fiqh mu’amalat mengacu secara ketat terhadap wahyu. Artinya, transaksi ekonomi akan dipandang benar bilamana tidak terdapat larangan dalam wahyu. Berdasarkan perbedaan sumber pengetahuan dan teori kebenaran yang digunakan, maka tentu saja sulit untuk memadukan antara ilmu ekonomi dengan fiqh mu’amalat. Bahkan secara faktual diakui bahwa pemberlakuan sistem ekonomi Islam dalam bidang perbankan dan asuransi hampir sama dengan yang terdapat dalam sistem ekonomi konvensional. 


Selanjutnya, dari sudut pandang epistemologi dapat diketahui bahwa ilmu ekonomi diperoleh melalui pengamatan (empirisme) terhadap gejala sosial masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Pengamatan yang dilakukan kemudian digeneralisasi melalui premis-premis khusus untuk mengambil kesimpulan yang bersifat umum. Pada tahap ini, ilmu ekonomi menggunakan penalaran yang bersifat kuantitatif . Perubahan dan keajegan yang diamati dalam sistem produksi dan distribusi barang dan jasa kemudian dijadikan sebagai teori-teori umum yang dapat menjawab berbagai masalah ekonomi. Sebagai sebuah contoh dapat dilihat dari teori permintaan (demand) dalam ilmu ekonomi yang berbunyi “apabila permintaan terhadap sebuah barang naik, maka harga barang tersebut secara otomatis akan menjadi naik” . Teori tersebut diperoleh dari pengalaman dan fakta di lapangan yang diteliti secara konsisten oleh para ahli ekonomi. Berdasarkan cara kerja yang demikian, penemuan teori-teori ilmu ekonomi dikelompokkan ke dalam context of discovery . 
Berbeda dengan hal itu, fiqh mu’amalat diperoleh melalui penelusuran langsung terhadap Al-Qur’an dan Hadits oleh para fuqaha. Melalui kaedah-kaedah ushuliyah, mereka merumuskan beberapa aturan yang harus dipraktekkan dalam kehidupan ekonomi umat. Rumusan-rumusan tersebut didapatkan dari hasil pemikiran (rasionalisme) melalui logika deduktif. Premis mayor yang disebutkan dalam wahyu selanjutnya dijabarkan melalui premis-premis minor untuk mendapatkan kesimpulan yang baik dan benar. Dengan demikian, fiqh mu’amalat menggunakan penalaran yang bersifat kualitatif . Salah satu contoh yang dapat dikemukakan dalam kasus ini adalah kaedah ushuliyah yang berbunyi “al-ashlu fi al-asyyai al-ibahah illa dalla dalilu ‘ala tahrimihi (asal dari segala sesuatu adalah dibolehkan kecuali dating sebuah dalil yang mengharamkannya). Jika diterapkan dalam ilmu ekonomi, maka seluruh transaksi bisnis pada dasarnya diperbolehkan jika tidak ada nash yang mengharamkannya. Pelarangan terhadap praktek bunga dan riba dalam perbankan konvensional hanya disebabkan adanya beberapa nash yang mengharamkannya (misalnya lihat QS Al-Baqarah:275). Cara kerja seperti ini dalam filsafat ilmu dikenal dengan context of justification . 
Munculnya problem epistemologis sebagaimana disebutkan di atas bersumber dari paradigma metodologis yang disusun oleh para ulama mutaqaddimin. Bagi para ulama mutaqaddimin, misalnya, penyelidikan terhadap hukum didasarkan atas prinsip tab’iyyah al-aql li an-naql . Ini berarti bahwa analisis hukum adalah naqli atau analisis teks sesuai dengan anggapan tidak ada hukum di luar teks-teks naqliyah. Sementara itu, mereka tidak pernah mengembangkan suatu metode analisis sosial dan historis yang terartikulasi dengan baik, meskipun Al-Ghazali telah membuat suatu paradigma pemaduan wahyu dan ra’yu dengan mengembangkan teori mashlahat dengan dasar logika induksi yang sesungguhnya memberi peluang bagi pengembangan analisis sosial . Dalam prakteknya, Al-Ghazali kemudian Al-Syatibi sebagai dua tokoh mashlahat dalam hukum Islam akhirnya jatuh juga dalam analisis tekstual seperti ulama-ulama lainnya. 

Analisis tekstual tersebut berkembang di kalangan ulama fuqaha secara konsisten dengan metodologi deduksi sebagai pilar utamanya. Padahal, prasyarat perkembangan sebuah ilmu pengetahuan adalah dengan menggabungkan metode deduksi dan induksi secara bersamaan. Salah satu kelebihan Imam Syafi’i atas ulama lainnya justru dapat dilihat dari kepiawaiannya untuk menggabungkan antara metode induksi-deduksi dalam fatwa-fatwanya. Sebagai contoh dapat disebutkan bahwa Imam Syafi’i memerlukan penelitian lapangan untuk menentukan jangka waktu terpendek dan terpanjang dari masa haid seorang wanita. Beliau kemudian mengembangkannya dengan qiyas terhadap masalah lainnya, seperti kewajiban shalat bagi wanita yang masa haidnya melebihi jangka waktu terlama dari seorang wanita normal . Perpaduan antara penelitian lapangan dengan qiyas yang dilakukan Imam Syafi’i tersebut secara tidak langsung mengantarkannya kepada pemaduan antara metode induksi dan deduksi. 
Dalam sejarah perkembangan hukum Islam, metode induksi-deduksi juga dilakukan oleh Imam Syafi’i ketika dia melontarkan ijtihad baru berupa qaul jadid untuk menggantikan qaul qadim-nya . Perubahan fatwa Imam Syafi’i itu lebih didasarkan atas perbedaan lingkungan geografis kota Basrah dan kota Mesir. Perbedaan lingkungan geografis itu kemudian disesuaikan dengan kaedah deduktif dalam ilmu ushul fiqh yang berbunyi “taghayyar al-ahkam bi al-taghyar al-azmanah wa al-amkinah. 
Perbedaan antara ilmu ekonomi dan fiqh mu’amalat dapat ditelurusi lebih dalam dari aspek aksiologisnya. Ilmu ekonomi pada hakikatnya bertujuan untuk membantu manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya . Sedangkan fiqh mu’amalat berfungsi untuk mengatur hukum kontrak (‘aqad) baik yang bersifat sosial maupun komersil . Secara pragmatis dapat disebutkan bahwa ilmu ekonomi lebih berorientasi materialis, sementara fiqh mu’amalat lebih terfokus pada hal-hal yang bersifat normatif. Atau dengan kata lain, ilmu ekonomi mempelajari teknik dan metode, sedangkan fiqh mu’amalat menentukan status hukum boleh tidaknya sebuah transaksi bisnis . 
Realitas di lapangan menunjukkan bahwa aspek aksiologis ilmu ekonomi konvensional dapat saja bertentangan dengan aspek aksiologis fiqh mu’amalat karena sesuatu yang sah dalam transaksi bisnis belum tentu sah dalam pandangan fiqh mu’amalat. Sebagai contoh, modus transaksi kontemporer melalui perantaraan internet tanpa memperlihatkan barang yang dijadikan objek maupun tanpa kehadiran penjual dan pembeli dianggap sah dalam ilmu ekonomi sejauh kedua belah pihak sama-sama menyetujui memorandum of understanding (MOU) yang dibuat sebelumnya. Fiqh mu’amalat dengan sejumlah teorinya belum tentu menerima transaksi tersebut. Sedikitnya terdapat dua kejanggalan dalam transaksi jenis ini. Pertama tidak diperlihatkannya barang yang diperjualbelikan, dan kedua tidak adanya aqad jual beli yang wajib diucapkan secara jelas oleh masing-masing pihak. 

Di samping problem epistemologis dalam filsafat ilmu yang disebutkan di atas, ilmu ekonomi Islam juga mendapat tantangan yang cukup berat dari ilmu ekonomi konvensional. Hal ini terjadi mengingat ilmu ekonomi yang berkembang di dunia Barat dilandasi dengan kebebasan individu dalam melakukan kontrak dengan syarat tidak merugikan satu sama lain. Konsep-konsep ekonomi konvensional versi Barat perlu diredefinisi agar dapat disesuaikan dengan kebutuhan syari’at Islam. Di antara konsep-konsep tersebut antara lain: 

1. Konsep Harta 

Masalah yang timbul dalam konsep harta adalah bahwa ilmu ekonomi konvensional tidak mengenal adanya nilai dalam pemilikan harta. Sejauh dapat menimbulkan nilai ekonomis, segala sesuatu dapat diakui sebagai harta. Tidak heran bila barang-barang haram seperti minuman keras dan daging babi termasuk property yang sah untuk dijadikan sebagai salah satu komoditi bisnis . 

2. Konsep Uang 

Pembahasan dalam fiqh mu’amalat mengasumsikan bahwa uang yang digunakan masyarakat adalah uang riil (real money) yaitu emas dan perak. Padahal sejak jaman penjajahan, uang emas dan perak tidak lagi digunakan sebagai alat tukar. Sebagai gantinya uang kertas menjadi alat tukar yang berlaku di tengah masyarakat. Para ulama berbeda pendapat tentang hukum uang kertas ini. Ada yang menganggap bahwa uang kertas tidak diterima dalam syariah karena bukan harta riil dan ada pula yang dapat menerimanya . 

3. Konsep Bunga dan Riba 

Dalam ilmu ekonomi, bunga merupakan asumsi yang tidak lagi menjadi bahan perdebatan meskipun sampai saat ini para ekonom masih sulit mencari justifikasi terhadapnya. Dalam ilmu fiqh mu’amalat istilah ini tidak dikenal meskipun pembahasan tentang hukum riba boleh dikatakan telah selesai dan para ulama sepakat mengharamkannya . Dengan konsep uang kertas (abstract money), konsep bunga dan riba menjadi pembahasan yang bekelanjutan. 

4. Konsep Time Value of Money 

Sebagian besar teori tentang menajemen keuangan dibangun berdasarkan konsep nilai dan waktu dari uang yang mengasumsikan bahwa nilai uang sekarang relatif lebih besar ketimbang di masa yang akan datang. Sedangkan di sisi lain, tidak didapati penjelasannya dalam fiqh mu’amalat meskipun perdebatan tentangn jual beli tangguh (ba’i mu’ajjal) termasuk diskusi yang tidak sedikit di antara para ulama . 


5. Konsep Modal 

Modal dalam pengertian ilmu ekonomi adalah segala benda, baik yang fisik maupun yang abstarak, yang memiliki nilai ekonomis dan produktif. Termasuk dalam pengertian ini adalah uang dan intellectual property right. Dalam fiqh mu’amalat klasik, pengertian modal terbatas pada benda fisik. Uang hanya dapat berperan sebagai alat tukar. Apabila ia ingin menjadi modal yang digunakan untuk memperoleh keuntungan ia harus terlebih dahulu diubah ke dalam bentuk fisik . 

6. Konsep Lembaga 

Ilmu ekonomi tidak mempersoalkan adanya individual entity atau abstract entity. Berbeda halnya dengan fiqh mu’amalat yang objeknya kepada mukallaf secara individual. Hal ini akan membawa dampak bagi analisa tentang kepemilikan dan hubungannnya dengan kepemilikan . 
Problem epistemologis ilmu ekonomi Islam dan tantangan yang diberikan oleh ilmu ekonomi konvensional yang disebutkan di atas dapat berimplikasi, baik secara langsung maupun tidak langsung, kepada out put yang dihasilkan oleh jurusan ekonomi Islam. Fiqh mu’amalat yang diajarkan di jurusan ekonomi Islam tidak mampu untuk menghasilkan para sarjana muslim yang diterima oleh dunia kerja. Alasannya adalah bahwa skill dan penguasaan terhadap ekonomi real lebih dibutuhkan sektor industri dan dunia kerja dibandingkan dengan keahlian dalam masalah istimbath al-ahkam. 
Demikian juga dunia perbankan, asuransi, dan pasal modal. Sektor ini lebih membutuhkan sarjana-sarjana yang menguasai ilmu-ilmu praktis seperti akuntansi, statistika, dan matematika ekonomi. Penguasaan terhadap ilmu-ilmu praktis menjadi hal yang sangat esensial mengingat modal yang diputarkan dalam bidang tersebut hanya dapat dikalkulasikan dengan ilmu-ilmu tersebut. Perusahaan-perusahaan komersil tentu tidak mau rugi hanya dikarenakan miss management yang seharusnya tidak terjadi bila mereka mempekerjakan orang-orang yang menguasai bidang tersebut secara baik. 

0 komentar:

Copyright © 2012 Nugasoft Production.