Definisi , Konsep, Ketentuan, Prinsip dari Akad Ijarah
A.Definisi dan Konsep al-Ijarah
Al-Ijarah adalah akad pemindahan hak guna atas barang atau jasa, melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan (ownership/milkiyah) atas barang itu sendiri.
Pada dasarnya prinsip ijarah sama saja dengan prinsip jual beli, tapi perbedaannya terletak pada objek transaksinya. Bila pada jual beli objek transaksinya barang, pada ijarah objek transaksinya adalah barang maupun jasa.
Menurut Fatwa Dewan Syariah Nasional, ijarah adalah akad pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang atau jasa dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa/upah, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang itu sendiri.
وَإِنْ أَرَدْتُمْ أَنْ تَسْتَرْضِعُوا أَوْلَادَكُمْ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِذَا سَلَّمْتُمْ مَا آتَيْتُمْ بِالْمَعْرُوفِ ۗوَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ ((233
Artinya:
Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma´ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.
قَالَتْ إِحْدَاهُمَا يَا أَبَتِ اسْتَأْجِرْهُ ۖإِنَّخَيْرَمَنِاسْتَأْجَرْتَالْقَوِيُّالْأَمِينُ (26)
قَالَ إِنِّي أُرِيدُ أَنْ أُنْكِحَكَ إِحْدَى ابْنَتَيَّ هَاتَيْنِ عَلَىٰ أَنْ تَأْجُرَنِي ثَمَانِيَ حِجَجٍ
ۖفَإِنْأَتْمَمْتَعَشْرًافَمِنْ عِنْدِكَ ۖوَمَاأُرِيدُأَنْأَشُقَّعَلَيْكَۚسَتَجِدُنِيإِنْشَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّالِحِينَ (27)
Artinya:
Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya. (26)
Berkatalah dia (Syu’aib): ”Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu, maka aku tidak hendak memberati kamu. Dan kamu insya Allah akan mendapatiku termasuk orang-orang yang baik. (27)
Hadis Riwayat Ibn Majah dari Ibnu Umar, bahwa Nabi bersabda:
أَعْطُوا اْلأَجِيْرَ أَجْرَهُ قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ.
Artinya
“Berikanlah upah pekerja sebelum keringatnya kering”.
Hadis riwayat Abd ar-Razzaq dari Abu Hurairah dan Abu Sa’id al-Khudri, Nabi s.a.w. bersabda:
مَنِ اسْتَأْجَرَ أَجِيْرًا فَلْيُعْلِمْهُ أَجْرَهُ.
Artinya:
Rukun, Jenis dan Ketentuan Ijarah
Rukun Ijarah
Menurut ulama’ Hanafiyah rukun ijarah adalah ijab dan qabul, dengan menggunakan kalimat: al-Ijarah, al-Isti’jar, al-Ikra’ dan al-Iktira’. Akan tetapi menurut jumhur ulama’ rukun Ijarah ada empat:
“Barang siapa mempekerjakan pekerja, beritahukan-lah upahnya”.
Rukun, Jenis dan Ketentuan Ijarah
Rukun Ijarah
Menurut ulama’ Hanafiyah rukun ijarah adalah ijab dan qabul, dengan menggunakan kalimat: al-Ijarah, al-Isti’jar, al-Ikra’ dan al-Iktira’. Akan tetapi menurut jumhur ulama’ rukun Ijarah ada empat:
- 1. Orang yang berakad (Muajir atau penyewa dan musta’jir atau yang menyewakan barang).
- 2. Sighat (ijab dan qabul)
- 3. Ujrah (ongkos sewa)
- 4. Manfa’ah (Manfaat)
Jenis Ijarah Menurut Objeknya
Berdasarkan obyeknya, Ijarah terdiri dari:
- 1. Ijarah dimana obyeknya manfaat dari barang, seperti sewa mobil, sewa rumah, dsb.
- 2. Ijarah dimana obyeknya adalah manfaat dari tenaga seorang seperti
jasa konsultan, pengacara, buruh, kru, jasa guru/dosen,dll.
Pendapatan yang diterima dari transaksi Ijarah disebut ujrah. Al-Ujrah ialah imbalan yang diperjanjikan dan dibayar oleh pengguna manfaat sebagai imbalan atas manfaat yang diterimanya.Adapun syarat manfaat sewa baik sewa barang maupun orang adalah:
- 1. Manfaat dapat diketahui secara rinci
- 2. Manfaat dapat disediakan secara nyata
- 3. Manfaat yang disewa dibolehkan syariah
- 4. Manfaat yang disewa harus dapat dinilai harganya
- 5. Manfaat yang disewa bukan pekerjaan wajib/fardhu yang memang wajib dilakukan penyewa
- 6. Barang disewa tidak cacat yang mencegah pemanfaatannya
Rukun dan Ketentuan Ijarah pada Lembaga Keuangan Syariah
Dalam Fatwa DSN No. 6 Tahun 2000 tentang Pembiayaan Ijarah telah dijelaskan secara rinci tentang Rukun dan Syarat Ijarah, Ketentuan Obyek Ijarah, dan Kewajiban LKS dan Nasabah dalam Pembiayaan Ijarah.Adapun Rukun dan Syarat Ijarah menurut Fatwa DSN No. 6 Tahun 2000 tersebut adalah:
1. Pernyataan ijab dan qabul.
2. Pihak-pihak yang berakad (berkontrak): terdiri atas pemberi sewa (lessor, pemilik aset, LKS), dan penyewa (lessee, pihak yang mengambil manfaat dari penggunaan aset, nasabah).
3. Obyek kontrak: pembayaran (sewa) dan manfaat dari penggunaan aset.
4. Manfaat dari penggunaan aset dalam ijarah adalah obyek kontrak yang harus dijamin, karena ia rukun yang harus dipenuhi sebagai ganti dari sewa dan bukan aset itu sendiri.
5. Sighat Ijarah adalah berupa pernyataan dari kedua belah pihak yang berkontrak, baik secara verbal atau dalam bentuk lain yang equivalent, dengan cara penawaran dari pemilik aset (LKS) dan penerimaan yang dinyatakan oleh penyewa (nasabah).
Sedangkan ketentuan Obyek Ijarah menurut Fatwa DSN No. 6 Tahun 2000 antara lain:
1. Obyek ijarah adalah manfaat dari penggunaan barang dan/atau jasa.
2. Manfaat barang harus bisa dinilai dan dapat dilaksanakan dalam kontrak.
3. Pemenuhan manfaat harus yang bersifat dibolehkan.
4. Kesanggupan memenuhi manfaat harus nyata dan sesuai dengan syari’ah.
5. Manfaat harus dikenali secara spesifik sedemikian rupa untuk menghilangkan jahalah (ketidaktahuan) yang akan mengakibatkan sengketa.
6. Spesifikasi manfaat harus dinyatakan dengan jelas, termasuk jangka waktunya. Bisa juga dikenali dengan spesifikasi atau identifikasi fisik.
7. Sewa adalah sesuatu yang dijanjikan dan dibayar nasabah kepada LKS sebagai pembayaran manfaat. Sesuatu yang dapat dijadikan harga dalam jual beli dapat pula dijadikan sewa dalam Ijarah.
8. Pembayaran sewa boleh berbentuk jasa (manfaat lain) dari jenis yang sama dengan obyek kontrak.
9. Kelenturan (flexibility) dalam menentukan sewa dapat diwujudkan dalam ukuran waktu, tempat dan jarak.
Berkaitan dengan kelenturan dalam menentukan ujrah dapat dijelaskan lebih jauh sebagai berikut:
1. Ujrah dapat ditentukan dalam ukuran waktu, tempat dan jarak. Misalnya, seorang mustakjir berkata kepada Muajjir, ”Jika seseorang menyewa mobil saya bulan ini sewanya Rp 2.500,000 perbulan, jika bulan depan (masa lebaran), sewanya Rp 3.000.000,-“.
2. Contoh lain, “Jika seseorang menggunakan gedung ini untuk bank syariah, sewanya Rp 25 juta setahun, jika anda gunakan untuk Baitul Mal wat Tamwil sewanya Rp 20 juta setahun”.
Sedangkan syarat Ujrah (fee, bayaran sewa) sebagai berikut:
1. Harus termasuk dari harta yang halal
2. Harus diketahui jenis, macam dan satuannya
3. Tidak boleh dari jenis yang sama dengan manfaat yang akan disewa untuk menghindari kemiripan riba fadhl.
4. Kebanyakan ulama membolehkan fee ijarah bukan dengan uang tetapi dalam bantuk jasa (manfaat lain). Misalnya membayar sewa mobil 1 minggu dengan mengajar anaknya matematika selama 1 bulan 8 Kali pertemuan.
5. Pemilik asset / manfaat dibolehkan meminta pembayaran di muka, baik sebagian maupun seluruhnya. Hal ini dimaksudkan sebagai tanda keseriusan penyewa dalam janjinya untuk menggunakan asset / manfaat tersebut.
B. Penanggungan Risiko Dalam Akad Ijarah
Dalam akad Ijarah juga berlaku hak khiyar, dimana penyewa berhak menolak ijarah karena cacat barang (khiyar ‘aib) dan Muajjir bertangung jawab untuk menjamin (mengganti) barang/orang ijarah yang cacat. Hal ini dapat dicontohkan: (a) jika ternyata mobil sewaan atau LCD sewaan rusak, maka muajjir harus menukar dengan barang lain yang bagus; dan (b) Jika ternyata Yayasan X penyalur pembantu mengirim pembantu yang ternyata tidak bisa mengerjakan tugas-tugas yang dijanjikan, maka muajjir harus menggantinya dengan pembantu yang lain.
Konsekuensi Hukum dan Pemeliharaan Asset dalam Akad Ijarah
Terdapat beberapa konsekuensi hukum dan ketentuan tentang tanggungjawab pemeliharaan asset dalam akad Ijarah:
1. Konsekuensi hukum dan keuangan yang timbul dari akad ijarah adalah timbulnya hak atas manfaat dari asset yang disewa oleh penyewa (musta’jir) dan penerimaan fee/ujrah bagi pemilik asset (muajjir).
2. Pemberi sewa (mu’jir) wajib menyediakan manfaat bagi penyewa dari asset yang disewa dengan cara menjaga agar manfaat itu tersedia selama periode penyewaan dalam batas yang normal. Apabila terjadi sesuatu yang membuat manfaat itu terhenti, maka pemberi sewa wajib memperbaikinya/menggantinya.
3. Pada prinsipnya dalam kontrak ijarah harus dinyatakan dengan jelas siapa yang menanggung biaya pemeliharaan asset obyek sewa. Sebagian ulama menyatakan jika kontrak sewa menyebutkan biaya perbaikan ditanggung penyewa, maka kontrak sewa itu tidak sah, karena penyewa menangung biaya yang tidak jelas. Hal ini sesuai dengan kaedah Al-Ajru wa adh Dhaman La Yajtami’ani. Artinya: pembayaran fee (bayaran sewa) tidak boleh berhimpun dengan biaya perbaikan kerusakaan.
C. Perbedaan Dokumen Leasing Konvensional
Pada dasarnya perbedaan antara dokumen akad ijarah dengan leasing konvensional terletak pada akad yang disebut dalam dokumen tersebut. Ada beberapa perbedaan dan persamaan antara ijarah dan leasing. Terdapat beberapa aspek yang dapat digunakan untuk melihat perbedaan dan persamaan antara ijarah dan leasing, yaitu (Karim, 2006):
1. Pertama, dari sisi objek kontrak. Jika melihat dari segi obyek penyewaan, leasing hanya berlaku untuk sewa menyewa barang saja. Jadi yang disewakan dalam leasing terbatas pada manfaat barang saja. Sedangkan dalam kontrak ijarah objek transaksinya bisa berupa manfaat atas barang maupun manfaat atas tenaga kerja. Ijarah bila diterapkan untuk mendapatkan manfaat barang disebut sewa menyewa, sedangkan bila untuk mendapatkan manfaat tenaga kerja disebut upah-mengupah. Dengan demikian secara cakupan objek, ijarah memiliki cakupan yang lebih luas.
2. Kedua, perpindahan kepemilikan. Dalam operating lease tidak terjadi pemindahan kepemilikan aset baik di awal maupun di akhir periode sewa. Dalam hal ini praktik ijarah sama dengan operating lease, tidak ada perpindahan kepemilikan baik di awal maupun akhir periode. Berikutnya dalam financial lease, sudah disepakati dari awal bahwa penyewa akan membeli atau tidak membeli aset yang disewa tersebut. Sedangkan varian lain dari akad Ijarah adalah akad Ijarah Muntahiyah Bit-Tamlik (IMBT) yang memiliki ketentuan bahwa pihak yang menyewakan berjanji diawal periode kepada pihak penyewa apakah akan menjual barang tersebut atau menghibahkannya. Dengan demikian ada dua jenis IMBT, yaitu: IMBT dengan janji menghibahkan barang di akhir periode sewa dan IMBT dengan janji menjual barang pada akhir periode sewa.
3. Ketiga, lease-purchase (sewa-beli). Hal ini merupakan variasi kontrak lainnya dari leasing, yakni kontrak sewa sekaligus beli. Dalam kontrak sewa-beli ini perpindahan kepemilikan terjadi selama periode sewa secara bertahap. Bila kontrak ini dibatalkan maka barang tersebut terbagi menjadi milik penyewa dan yang menyewakan. Menurut syariah akad ini diharamkan karena adanya shafqatain fi al-shafqah (two ini one). Hal ini menyebabkan gharar dalam akad, yakni ada ketidakjelasan apakah akad sewa atau akad beli yang digunakan.
D. Beban Asuransi Dalam Akad Ijarah
Selama kewajiban nasabah sebagaimana dimaksud dalam Akad ini belum dipenuhi, maka Agunan yang dapat diasuransikan wajib diasuransikan oleh dan atas beban nasabah kepada Perusahaan Asuransi berdasarkan prinsip syariah yang ditunjuk dan atau disetujui oleh bank terhadap risiko kerugian yang macam, nilai dan jangka waktunya ditentukan oleh bank.
Dalam perjanjian asuransi (Polis) wajib dicantumkan klausula yang menyatakan bahwa bilamana terjadi pembayaran ganti rugi dari perusahaan asuransi, maka bank berhak memperhitungkan hasil pembayaran klaim tersebut dengan seluruh kewajiban nasabah kepada bank (Banker’s Clause).
Premi asuransi atas Agunan wajib dibayar lunas atau dicadangkan oleh nasabah dibawah penguasaan bank sebelum dilakukan penarikan pembiayaan atau perpanjangan jangka waktu pembiayaan.
Dalam hal penutupan asuransi dilakukan oleh bank, dengan ini nasabah memberikan kuasa kepada bank untuk mengasuransikan barang-barang yang menjadi objek sewa dan jaminan-jaminan lainnya (bila ada) serta melakukan tindakan sehubungan dengan barang-barang tersebut, dengan ketentuan bahwa biaya yang timbul dari penutupan asuransi sepenuhnya menjadi beban nasabah.
Bila terjadi kerugian atas Agunan yang dipertanggungkan dalam Polis tersebut diatas, maka dengan ini nasabah memberi kuasa kepada bank untuk mengajukan klaim serta menerima hasil klaim tersebut dari perusahaan asuransi untuk kemudian mempergunakan hasil klaim tersebut bagi pelunasan kewajiban/hutang nasabah kepada bank.
Dalam hal ini, hasil klaim asuransi tersebut belum dapat memenuhi seluruh kewajiban/hutang nasabah kepada bank, maka nasabah berkewajiban untuk menambah kekurangan tersebut.
Dalam hal hasil uang pertanggungan tidak cukup untuk melunasi kewajiban, sisa kewajiban tersebut tetap menjadi kewajiban nasabah kepada bank dan wajib dibayar dengan seketika dan sekaligus oleh nasabah pada saat ditagih oleh bank.
Asli kwitansi atau pembayaran resmi premi asuransi dan asli polis asuransi beserta ‘Banker’s Clause” wajib diserahkan kepada bank.
E. Keterlambatan Pembayaran
Pada dasarnya ketentuan mengenai keterlambatan pembayaran dalam akad Ijarah masih diperdebatkan dalam kalangan ulama. Ada yang membolehkan pengenaan biaya ganti rugi bagi si penyewa yang melakukan keterlambatan pembayaran, dan ada pula yang mengharamkannya karena alasan Riba dan Gharar.
Pendapat lain mengatakan, untuk menghindari riba dan gharar maka sebaiknya denda tersebut diberikan dalam bentuk bantuan dana sosial ke lembaga-lembaga sosial. Namun Majlis Ulama Indonesia telah mengeluarkan fatwa
mengenai hal tersebut, ringkasnya dapat dilihat sebagai berikut:
FATWA TENTANG GANTI RUGI (TA'WIDH)
Pertama: KETENTUAN UMUM
1. Ganti rugi (ta’widh) hanya boleh dikenakan atas pihak yang dengan sengaja atau karena kelalaian melakukan sesuatu yang menyimpang dari ketentuan akad dan menimbulkan kerugian pada pihak lain.
2. Kerugian yang dapat dikenakan ta'widh sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 adalah kerugian riil yang dapat diperhitungkan dengan jelas.
3. Kerugian riil sebagaimana dimaksud ayat 2 adalah biaya-biaya riil yg dikeluarkan dalam rangka penagihan hak yang seharusnya dibayarkan.
4. Besar ganti rugi (ta'widh) adalah sesuai dengan nilai kerugian riil (real loss) yang pasti dialami (fixed cost) dalam transaksi tersebut dan bukan kerugian yang diperkirakan akan terjadi (potential loss) karena adanya peluang yang hilang (opportunity loss atau al-furshah al-dha-i' ah).
5. Ganti rugi (ta‘widh) hanya boleh dikenakan pada transaksi (akad) yang menimbulkan utang piutang (dain), seperti salam, istishna' serta murabahah dan ijarah.
6. Dalam akad Mudharabah dan Musyarakah, ganti rugi hanya boleh dikenakan oleh shahibul mal atau salah satu pihak dalam musyarakah apabila bagian keuntungannya sudah jelas tetapi tidak dibayarkan.
Kedua: KETENTUAN KHUSUS
1. Ganti rugi yang diterima dalam transaksi di LKS dapat diakui sebagai hak (pendapatan) bagi pihak yang menerimanya.
2. Jumlah ganti rugi besarnya harus tetap sesuai dengan kerugian riil dan tata cara pembayarannya tergantung kesepakatan para pihak.
3. Besarnya ganti rugi ini tidak boleh dicantumkan dalam akad.
4. Pihak yang cedera janji bertanggung jawab atas biaya perkara dan biaya lainnya yang timbul akibat proses penyelesaian perkara.
Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka penyelesaiaannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syari'ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
0 komentar: