Makalah Konstitusi (PKN)
BAB I
NEGARA (STATE-STAAT)
Membicarakan masalah hukum konstitusi artinya membahas dua variabel, apa itu hokum, dan apa yang dimaksud dengan konstitusi. Keduanya terkait erat dengan persoalan negara dan karena itu untuk memahami pengertian hukum konstitusi haruslah dipahami terlebih dahulu tentang negara itu sendiri.
Negara adalah suatu organisasi di antara sekelompok atau beberapa kelompok manusia yang secara bersama-sama mendiami suatu wilayah (Territorial) tertentu dengan mengakui adanaya suatu pemerintahan yang mengurus tata tertibdan keselamatan sekelompok atau beberapa kelompok manusia yang ada di wilayahnya. Organisasi negara dalam suatu wilayah bukanlah satu-satunya organisasi, ada organisasi-organisasi lain (keagamaan, kepartaian, kemasyarakatan dan organisasi lainnya yang masing-masing memiliki kepribadian yang lepas dari masalah kenegaraan). Kurang tepat apabila negara dikatakan sebagai suatu masyarakat yang diorganisir. Adalah tepat apabila dikatakan diantara organisasi-organisasi di atas, negara merupakan suatu organisasi yang utama di dalam suatu wilayah karena memiliki pemerintahan yang berwenang dan mampu untuk dalam banyak hal campur tangan dalam bidang organisasiorganisasi lainnya. Ada beberapa elemen atau unsur utama yang membentuk pengertian negara, antara lain:
A. Rakyat
Unsur ini sangat penting dalam suatu negara, oleh karena orang / manusia sebagai individu dan anggota masyarakat yang pertama-tama berkepentingan agar organisasi negara berjalan baik.Merekalah yang kemudian menentukan dalam tahap perkembangan negara selanjutnya. Pentingnya unsur rakyat dalam suatu negara tidak hanya diperlukan dalam lmu kenegaraan (Staatsleer) tetapi perlu juga perlu melahirkan apa yang disebutilmu kemasyarakatan (sosiologi) suatu ilmu pengetahuan baru yang khusus menyelidiki, mempelajari hidup kemasyarakatan. Sosiologi merupakan ilmu penolong bagi ilmu hukum tata negara.
B. Wilayah (Teritorial)
Tidak mungkin ada negara tanpa suatu wilayah. Disamping pentingnya unsur wilayah dengan batas-batas yabng jelas, penting pula keadaan khusus wilayah yang bersangkutan, artinya apakah layak suatu wilayah itu masuk suatu negara tertentu atau sebaliknya dipecah menjadi wilayah berbagai negara. Apabila mengeluarkan peraturan perundang-undangan pada prinsipnya hanya berlaku bagi orang-orang yang berada di wilayahnya sendiri. Orang akan segera sadar berada dalam suatu negara tertentu apabila melampaui batas-batas wilayahnya setelah berhadapan dengan aparat (imigrasi negara) untuk memenuhi berbagai kewajiban yang ditentukan.
C. Pemerintahan
Ciri khusus dari pemerintahan dalam negara adalah pemerintahan memiliki kekuasaan atas semua anggota masyarakat yang merupakan penduduk suatu negara dan berada dalam wilayah negara.Timbul pertanyaan, dari manakah pemerintahan memperoleh kekuasaan ini. Ada empat macam teori, yaitu teori kedaulatan Tuhan, kedaulatan negara, kedaulatan hukum dan kedaulatan rakyat.Teori kedaulatan Tuhan (Gods Souvereiniteit) meyatakan atau menganggap kekuasaan pemerintah suatu negara diberikan oleh Tuhan Misalnya kerajaan Belanda, Raja atau ratu secara resmi menamakan dirinya Raja atas kehendak Tuhan “bij de Gratie Gods”, atau Ethiopia (Raja Haile Selasi) dinamakan “Singa Penakluk dari suku Yuda yang terpilih Tuhan menjadi Raja di Ethiopia”.
Teori kedaulatan Negara (Staats Souvereiniteit) menganggap sebagai suatu axioma yang tidak dapat dibantah, artinya dalam suatu wilayah negara, negaralah yang berdaulat. Inilah inti pokok dari semua kekuasaan yang ada dalam wilayah suatu negara. Otto Mayer (dalam buku Deutsches Verwaltungsrecht) menyatakan “kemauan negara adalah memiliki kekuasaan kekerasan menurut kehendakalam”. Sementara itu Jellinek dalam buku Algemeine Staatslehre menyatakankedaulatan negara sebagai pokok pangkal kekuasaan yang tidak diperoleh dari
siapapun. Pemerintah adalah “alat negara”.
Di dalam perkembangan sejarah ketatanegaraan, 3 unsur Negara menjadi 4 bahkan 5 yaitu rakyat, wilayah, pemerintahan, UUD (Konstitusi) danpengakuan Internasional (secara de facto maupun de jure).
BAB II
KONSTITUSI (CONSTITUTION)
Konstitusi merupakan jaminan yang paling efektif dalam menjaga agar kekuasaan yang ada dalam Negara tidak salah gunakan dan hak asasi manusia/warga Negara tidak dilanggar,konstitusi sangat penting artinya bagi suatu Negara karena kedudukannya dalam mengatur dan membatasi kekuasan dalam suatu Negara.
Konstitusi berasal dari istilah bahasa Prancis, yaitu constituer artinya membentuk. Beberapa istilah dari konstitusi seperti gronwet (bahasa Belanda) artinya, yaitu wet berarti undang-undang dan ground berarti tanah. Beberapa Negara yang menggunakan istilah constitution untuk mengartikan konstitusi.
Dalam bahasa Indonesia kontitusi diartikan sebagai hukum dasar atau undang-undang dasar. Istilah itu menggambarkan keseluruhan system ketatanegaraan suatu Negara. Beberapa ahli kertanegaraan yg menyatakan tentang pengertian konstitusi yaitu:
a. Herman Heller
Kontitusi dibagi menjadi tiga :
1. Kontitusi yang mencerminkan kehidupan politik di dalam masyarakat sebagai suatu kenyataan. Disebut pengertian secara sosiologis.
2. Konstitusi merupakan satu kesatuan kaidah yang hidup dalam masyarakat merupakan pengertian secara yuridis.
3. Konstitusi yang ditulis dalam suatu naskah sebagai undang-undang yang tinggi dan berlaku dalam suatu Negara.disebut pengertian secara politis.
b. K.C. Wheare
Kontitusi adalah keseluruhan system ketatanegaraan dari suatu Negara berupa kumpulan peraturan yang membentuk,mengatur/memerintah dalam suatu Negara. Pengertian konstitusi secara sempit adalah keseluruhan peraturan Negara yang bersifat tertulis.
Pengertian konstitusi secara luas adalah keseluruhan peraturan Negara,baik yang tartulis maupun tidak tertulis sering disebut konvensi Konstitusi sebagai hukum dasar yang memiliki arti penting bagi Negara. Budiarjo menyatakan bahwa konstitusi undang-undang dasar ketentuan sebagai berikut.
Ø Pembagian kekuasaan antara lembaga eksekutif, legislative, dan yudikatif.
Ø Hak asasi manusia.
Ø Prosedur perubahan UUD.
Ø Larangan untuk mengubah sifat tertentu dari UUD Pembatasan kekuasaan untuk mencakup dua hal, yaitu isi kekuasaan dan waktu pelaksanaan pembatasan isi kekuasaan mengandung arti bahwa dalam konstitusi ditentukan tugas serta wewenang lembaga-lembaga Negara.
A. Konstitusi Tertulis dan Tidak Tertulis
Konstitusi memuat suatu aturan pokok (fundamental) mengenai sendi-sendi pertama untuk menegakkan suatu bangunan besar yang disebut negara. Sendi-sendi itu tentunya harus kokoh, kuat dan tidak mudah runtuh agarbangunan negara tetap tegak berdiri. Ada dua macam konstitusi di dunia,yaitu “Konstitusi Tertulis” (Written Constitution) dan “Konstitusi Tidak Tertulis” (Unwritten Constitution), ini diartikan seperti halnya “HukumTertulis” (Geschreven Recht) yang trmuat dalam undang-undang dan “HukumTidak Tertulis” (Ongeschreven Recht) yang berdasar adat kebiasaan. Dalam karangan “Constitution of Nations”, Amos J. Peaslee menyatakan hamper semua negara di dunia mempunyai konstitusi tertulis, kecuali Inggris dan Kanada.
Di beberapa negara ada dokumen tetapi tidak disebut konstitusi walaupun sebenarnya materi muatannya tidak berbeda dengan apa yang dinegara lain disebut konstitusi. Ivor Jenning dalam buku (The Law and The Constitution) menyatakan di negara-negara dengan konstitusi tertulis ada dokumen tertentu yang menentukan:
a. Adanya wewenang dan tata cara bekerja lembaga kenegaraan.
b. Adanya ketentuan berbagai hak asasi dari warga negara yang diakui dan dilindungi di inggris baik lembaga-lembaga negara termaksud dalam huruf a maupun pada huruf b yang dilindungi, tetapi tidak termuat dalam suatu dokumen tertentu.
Dokumen-dokumen tertulis hanya memuat beberapa lembaga-lembaga negara dan beberapa hak asasi yang dilindungi, satu dokumen dengan yang lain tidak sama. Karenanya dilakukan pilihan-pilihan diantara dokumen itu untuk dimuat dalam konstitusi. Pilihan di Inggris tidak ada. Penulis Inggris yang akhirnya memilih lembaga-lembaga manam dan hak asasi mana oleh mereka yang dianggap “constitutional.”
Ada konstitusi yang materi muatannya sangat panjang dan sangat pendek. Konstitusi yang terpanjang adalah India dengan 394 pasal. Kemudian Amerika Latin seperti uruguay 332 pasal, Nicaragua 328 pasal, Cuba 286 pasal, Panama 271 pasal, Peru 236 pasal, Brazil dan Columbia 218 pasal, selanjutnya di Asia, Burma 234 pasal, di Eropa, belanda 210 pasal. Konstitusi terpendek adalah Spanyol dengan 36 pasal, Indonesia 37 pasal, Laos 44 pasal, Guatemala 45 pasal, Nepal 46 pasal, Ethiopia 55 pasal, Ceylon 91 pasal dan Finlandia 95 pasal.
B. Tujuan Konstitusi
Hukum pada umumnya bertujuan mengadakan tata tertib untuk keselamatan masyarakat yang penuh dengan konflik antara berbagaikepentingan yang ada di tengah masyarakat. Tujuan hukum tata negara pada dasarnya sama dan karena sumber utama dari hukum tata negara adalahkonstitusi atau Undang-Undang Dasar, akan lebih jelas dapat dikemukakantujuan konstitusi itu sendiri.
Tujuan konstitusi adalah juga tata tertib terkait dengan:
a. Berbagai lembaga-lembaga negara dengan wewenang dan cara bekerjanya.
b. Hubungan antar lembaga Negara.
c. Hubungan lembaga negara dengan warga negara(rakyat).
d. Adanya jaminan hak-hak asasi manusia.
C. Konstitusi dan Kesadaran Berkonstitusi
Setiap negara merdeka mempunyai konstitusi sebagai operasionalisasi ideologi negaranya. Secara etimologi , istilah konstitusi sangat beragam dalam setiap kosakata bahasa setiap negara. Istilah konstitusi dalam bahasa Inggris adalah constitution dan constituer dalam bahasa Perancis. Kedua kata tersebut berasal dari bahasa Latin yaitu constitutio yang berarti dasar susunan badan. Dalam bahasa Belanda istilah konstitusi disebut dengan grondwet yang terdiri atas kata grond berarti dasar dan kata wet berarti undang-undang. Dengan demikian istilah konstitusi sama dengan undang-undang dasar. Kemudian, dalam bahasa Jerman istilah konstitusi disebut verfassung (Riyanto, 2000:17-19).
Dalam praktek ketatanegaraan pengertian konstitusi pada umumnya memiliki dua arti. Pertama, konstitusi mempunyai arti yang lebih luas daripada undang-undang dasar. Konstitusi meliputi undang-undang dasar (konstitusi tertulis) dan konvensi (konstitusi tidak tertulis). Dengan demikian dapat dikatakan undang-undang dasar termasuk ke dalam bagian konstitusi. Kedua, konstitusi memiliki arti yang sama dengan undang-undang dasar (KC. Where dalam Riyanto, 2000:49-51). Pengertian yang kedua ini pernah diberlakukan dalam praktek ketatanegaraan Republik Indonesia dengan disebutnya Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Serikat Tahun 1945 dengan istilah Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949.
Konstitusi sebagai hukum dasar yang utama dan merupakan hasil representatif kehendak seluruh rakyat, haruslah dilaksanakan dengan sungguh-sungguh di setiap sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, prinsip yang timbul adalah setiap tindakan, perbuatan, dan/atau aturan dari semua otoritas yang diberi delegasi oleh konstitusi, tidak boleh bertentangan denganbasic rights dan konstitusi itu sendiri.
Dengan demikian, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang merupakan konstitusi bangsa dan negara Indonesia adalah aturan hukum tertinggi yang keberadaannya dilandasi legitimasi kedaulatan rakyat dan negara hukum. Oleh karena itu, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dipandang sebagai bentuk kesepakatan bersama (general agreement) ”seluruh rakyat Indonesia” yang memiliki kedaulatan. Hal itu sekaligus membawa konsekuensi bahwa Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan aturan tertinggi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang mengatur bagaimana kedaulatan rakyat akan dilaksanakan. Inilah yang secara teoretis disebut dengan supremasi konstitusi sebagai salah satu prinsip utama tegaknya negara hukum yang demokratis. Berkaitan dengan hal itu, Solly Lubis (1978:48-49) mengemukakan bahwa Undang-Undang Dasar adalah sumber utama dari norma-norma hukum tata negara. Undang-Undang Dasar mengatur bentuk dan susunan negara, alat-alat perlengkapannya di pusat dan daerah, mengatur tugas-tugas alat-alat perlengkapan itu serta hubungan satu sama lain.
Di sisi lain,harus diingat bahwa selain aturan-aturan dasar, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 juga memuat tujuan nasional sebagai cita-cita kemerdekaan sebagaimana tertuang dalam Pembukaan.Antara tujuan nasional dengan aturan-aturan dasar tersebut merupakan satu kesatuan jalan dan tujuan. Agar tiap-tiap tujuan nasional dapat tercapai, pelaksanaan aturan-aturan dasar konstitusi dalam praktik kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi syarat mutlak yang harus dipenuhi. Selain itu, dalam sebuah kontitusi juga terkandung hak dan kewajiban dari setiap warga negara. Oleh karena itu, konstitusi harus dikawal dengan pengertian agar selalu benar-benar dilaksanakan.
Sesuai dengan salah satu pengertian negara hukum, di mana setiap tindakan penyelenggara negara serta warga negara harus dilakukan berdasarkan dan di dalam koridor hukum, maka yang harus mengawal konstitusi adalah segenap penyelenggara dan seluruh warga negara dengan cara menjalankan wewenang, hak, dan kewajiban konstitusionalnya. Apabila setiap pejabat dan aparat penyelenggara negara telah memahami Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta melaksanakan wewenangnya berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, setiap produk hukum,kebijakan,dan tindakan yang dihasilkan adalah bentuk pelaksanaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Hal itu harus diimbangi dengan pelaksanaan oleh seluruh warga negara. Untuk itu dibutuhkan adanya kesadaran berkonstitusi warga negara, tidak saja untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang telah dibuat berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, tetapi juga untuk dapat melakukan kontrol pelaksanaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 baik dalam bentuk peraturan perundang- undangan, kebijakan, maupun tindakan penyelenggara negara (Gaffar, 2007).
Apa sebenarnya kesadaran berkonstitusi itu? Kesadaran berkonstitusi secara konseptual diartikan sebagai kualitas pribadi seseorang yang memancarkan wawasan, sikap, dan perilaku yang bermuatan cita-cita dan komitmen luhur kebangsaan dan kebernegaraan Indonesia (Winataputra, 2007). Kesadaran berkonstitusi merupakan salah satu bentuk keinsyafan warga negara akan pentingnya mengimplementasikan nilai-nilai konstitusi.
Kesadaran berkonstitusi merupakan salah bagian dari kesadaran moral. Sebagai bagian dari kesadaran moral, kesadaran konstitusi mempunyai tiga unsur pokok yaitu:
1. Perasaan wajib atau keharusan untuk melakukan tindakan bermoral yang sesuai dengan konstitusi negara itu ada dan terjadi di dalam setiap sanubari warga negara, siapapun, di manapun dan kapanpun.
2. Rasional, kesadaran moral dapat dikatakan rasional karena berlaku umum, lagi pula terbuka bagi pembenaranatau penyangkalan. Dengan demikian kesadaran berkonstitusi merupakan hal yang bersifat rasional dan dapat dinyatakan pula sebagai hal objektif yang dapat diuniversalkan, artinya dapat disetujui, berlaku pada setiap waktu dan tempatbagi setiap warga negara.
3. Kebebasan, atas kesadaran moralnya, warga negara bebas untuk mentaati berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku di negaranya termasuk ketentuan konstitusi negara (Magnis-Suseno, 1975:25).
Kesadaran berkonstitusi warga negara memiliki beberapa tingkatan yang menunjukkan derajat setiap warga negara dalam melaksanakan ketentuan konstitusi negara. Tingkatan-tingkatan tersebut jika dikaitkan dengan tingkatan kesadaran menurut N.Y Bull (Djahiri, 1985:24), terdiri dari:
1. Kesadaran yang bersifat anomous, yaitu kesadaran atau kepatuhan terhadap ketentuan konstitusi negara yang tidak jelas dasar dan alasannya atau orientasinya.
2. Kesadaran yang bersifat heteronomous, yaitu kesadaran atau kepatuhan ketentuan konstitusi negara yang berlandaskan dasar/orientasi motivasi yang beraneka ragam atau berganti-ganti. Ini pun kurang mantap sebab mudah berubah oleh keadaan dan situasi.
3. Kesadaran yang bersifat sosionomous, yaitu kesadaran atau kepatuhan terhdap ketentuan konstitusi negara yang berorientasikan pada kiprah umum atau khalayak ramai.
4. Kesadaran yang bersifat autonomous, yaitu kesadaran atau kepatuhan ketentuan konstitusi negara yang didasari oleh konsep kesadaran yang ada dalam diri seorang warga negara. Ini merupakan tingkatan kesadaran yang paling tinggi.
Warga negara yang memiliki kesadaran berkonstitusi merupakan warga negara yang memiliki kemelekkan terhadap konstitusi (constitutional literacy). Berkaitan dengan hal tersebut, Toni Massaro (dalam Brook Thomas,1996:637) menyatakan bahwa kemelekkan terhadap konstitusi akan mengarahkan warga negara untuk berpartisipasi melaksanakan kewajibannya sebagai warga negara. Oleh karena itu, Winataputra (2007) mengidentifikasi beberapa bentuk kesadaran berkonstitusi bagi warga negara Indonesia yang meliputi:
a. Kesadaran dan kesediaan untuk mempertahankan dan mengisi kemerdekaan Indonesia sebagai hak azasi bangsa dengan perwujudan perilaku sehari-hari antara lain: belajar/bekerja keras untuk menjadi manusia Indonesia yang berkualitas, siap membela negara sesuai kapasitas dan kualitas pribadi masing-masing, dan rela berkorban untuk Indonesia.
b. Kesadaran dan pengakuan bahwa kemerdekaan Indonesia sebagai bangsa sebagai rahmat Allah Yang Maha Kuasa dengan perwujudan perilaku sehari-hari antara lain: selalu bersyukur, tidak arogan, dan selalu berdoa kepada Allah Yang Maha Kuasa.
c. Kepekaan dan ketanggapan terhadap kewajiban Pemerintah Negara untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan perwujudan perilaku sehari-hari antara lain: bersikap kritis, skeptis, dan adaptif terhadap kebijakan publik perlindungan negara.
d. Kepekaan dan ketanggapan terhadap kewajiban Pemerintah Negara untuk memajukan kesejahteraan umum dengan perwujudan perilaku sehari-hari antara lain: bersikap kritis, skeptis, dan adaptif terhadap kebijakan publik perlindungan negara.
e. Kepekaan dan ketanggapan terhadap kewajiban Pemerintah Negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dengan perwujudan perilaku sehari-hari antara lain: bersikap kritis, skeptis, dan adaptif terhadap kebijakan publik pencerdasan kehidupan bangsa
f. Kepekaan dan ketanggapan terhadap kewajiban Pemerintah Negara yang melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial dengan perwujudan perilaku sehari-hari antara lain: bersikap kritis, skeptis, dan adaptif terhadap kebijakan publik hubungan luar negeri Indonesia.
g. Kemauan untuk selalu memperkuat keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dengan perwujudan perilaku sehari-hari antara lain: menjalankan ibadah ritual dan ibadah sosial menurut keyakinan agamanya masing-masing dalam konteks toleransi antar umat beragama.
h. Kemauan untuk bersama-sama membangun persatuan dan kesatuan bangsa dengan perwujudan perilaku sehari-hari antara lain: bersikap tidak primordialistik, berjiwa kemitraan pluralistik, dan bekerja sama secara profesional.
i. Kemauan untuk bersama-sama membangun jiwa kemanusiaan yang adil dan beradab dengan perwujudan perilaku sehari-hari antara lain: menghormati orang lain seperti menghormati diri sendiri, memperlakukan orang lain secara proporsional, dan bersikap empatik pada orang lain
j. Kesediaan untuk mewujudkan komitmen terhadap keadilan dan kesejahteraan dengan perwujudan perilaku sehari-hari antara lain: tidak bersikap mau menang sendiri, tidak bersikap rakus dan korup, dan biasa berderma.
k. Kesediaan untuk mewujudkan komitmen terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia yang bersifat final dengan perwujudan perilaku sehari-hari antara lain: tidak bersikap kesukuan, tidak bersikap kedaerahan, dan tidak berjiwa federalistik.
l. Kesadaran untuk menempatkan Presiden sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan Negara dalam kerangka kabinet presidensil dengan perwujudan perilaku sehari-hari antara lain: menghormati orang yang memegang jabatan Presiden dan Wakil Presiden, menghormati simbol-simbol kepresidenan, dan menghormati mantan Presiden/Wakil Presiden secara proporsional dan elegan.
m. Kepekaan dan ketanggapan terhadap pembentukan Kementerian yang diatur undang-undang dengan perwujudan perilaku sehari-hari antara lain: bersikap kritis, skeptis, dan adaptif terhadap kebijakan Presiden dalam penyusunan Kabinet.
n. Kesadaran dan kemampuan untuk melaksanakan Pemilu yang langsung, bebas, rahasia, jujur, dan adil dengan perwujudan perilaku sehari-hari antara lain: menjadi pemilih resmi yang cerdas, menjadi konstituen Calon/pasangan calon/ Partai Politik yang cerdas dan menjadi pelaksana Pemilu yang profesional.
o. Kesadaran akan kesejajaran Dewan Perwakilan Rakyat dengan Pemerintah dengan perwujudan perilaku sehari- kontrol dan saling imbang (check and balance), cerdas dalam bersikap terhadap DPR/DPRD dan Pemerintah/Pemerintah Daerah, dan kritis terhadap DPR/DPRD dan Pemerintah/Pemerintah Daerah.
p. Kesadaran untuk mendukung pelaksanakan otonomi daerah pada tingkat kabupaten/kota dengan perwujudan perilaku sehari-hari antara lain: menghormati Pemerintah Daerah, menjalankan Peraturan Daerah yang relevan, dan berpartisipasi secara optimal dalam pembangunan daerah.
q. Kepekaan dan ketanggapan terhadap akuntabilitas publik keuangan negara dengan perwujudan perilaku sehari-hari antara lain: bersikap kritis, skeptis, dan adaptif terhadap kebijakan publik pengelolaan keuangan negara.
r. Kesadaran dan kemauan untuk menjaga wilayah negara dengan konsep wawasan nusantara dengan perwujudan perilaku sehari-hari antara lain: memahami dengan baik konsep wawasan nusantara, memelihara lingkungan alam dengan baik, dan mengelola kekayaan alam sesuai peraturan perundang-undangan.
s. Kepekaan dan ketanggapan terhadap kedudukan kehakiman yang merdeka dalam menegakkan hukum dan keadilan dengan perwujudan perilaku sehari-hariantara lain: bersikap kritis, skeptis, dan adaptif terhadap kebijakan publik dalam bidang peradilan.
t. Kesadaran dan kemauan untuk turut serta melakukan perlindungan dan pemajuan hak azasi manusia (politik, ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, dan agama) dengan perwujudan perilaku sehari-hari antara lain: memahami hak dan kewajiban warga negara dan hak azasi manusia secara utuh, bersikap kritis, skeptis, dan adaptif terhadap kebijakan publik yang terkait langsung/tak langsung dengan berbagai dimensi hak azasi manusia.
u. Kesadaran dan kesediaan untuk menghormati Sang Merah Putih sebagai Bendera Negara dengan perwujudan perilaku sehari-hari antara lain: menyimpan Sang Merah Putih pada tempat yang tepat dan baik, memberi hormat pada saat Sang Merah Putih sedang dinaikkan/diturunkan, dan tidak merusak Sang Merah Putih dengan alasan apapun.
v. Kesadaran akan peran dan kemampuan menggunakan Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Negara secara baik dan benar dengan perwujudan perilaku sehari-hari antara lain: menguasai Bahasa Indonesia dengan baik dan benar, menggunakan Bahasa Indonesia dengan baik dan benar, dan berpartisipasi dalam memperkaya dan mengembangkan Bahasa Indonesia.
w. Kesediaan untuk menghormati Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika sebagai Lambang Negara dengan perwujudan perilaku sehari-hari.
x. Kesadaran akan makna dan kemampuan menyanyikan lagu Indonesia Raya sebagai Lagu Kebangsaan dengan perwujudan perilaku sehari-hari antara lain: mampu menyanyikan Lagu Indonesia Raya dengan benar dan baik, dan tidak memplesetkan kata-kata/nada dari Lagu Indonesia Raya untuk tujuan apapun.
Berbagai bentuk kesadaran berkonstitusi warga negara sebagaimana diuraikan di atas dapat dapat terwujud jika didukung oleh berbagai faktor yang mendorong terciptanya warga negara yang sadar berkonstitusi, salah satunya adalah dengan pendidikan berkonstitusi melalui Pendidikan Kewarganegaraan. Pendidikan berkonstitusi merupakan hal terpenting yang harus dioptimalkan untuk menciptakan warga negara yang memiliki kesadaran berkonstitusi.
D. Rasionalisasi Implementasi Pendidikan Kesadaran Berkonstitusi Melalui Pendidikan Kewarganegaraan
Pendidikan Kewarganegaraan mempunyai peranan yang strategis dalam mengimplementasikan pendidikan kesadaran berkonstitusi. Hal ini dikarenakan salah satu misi Pendidikan Kewarganegaraan adalah sebagai pendidikan politik, yakni membina siswa untuk memahami hak dan kewajibannya sebagai warga masyarakat dan warga negara, termasuk di dalamnya memahami konstitusi. Selain itu, materi muatan konstitusi seperti organisasi negara, hak-hak asasi manusia, cita-cita rakyat, dan asas-asas ideologi negara amat relevan untuk memperkaya materi Pendidikan Kewarganegaraan. Oleh karena itu, untuk mengoptimalkan peran Pendidikan Kewarganegaraan tersebut, diperlukan upaya untuk memperkuat konsep Pendidikan Kewarganegaraan sebagai media pendidikan kesadaran berkonstitusi.
Berkaitan dengan hal di atas, Winaputra (2007) mengemukakan beberapa asumsi mengenai perlunya penguatan konsep mengenai kedudukan Pendidikan Kewarganegaraan sebagai media pendidikan berkonstitusi, diantaranya:
1. Komitmen nasional untuk memfungsikan pendidikan sebagai wahana untuk ”mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa” (Pasal 3 UU RI 20 tahun 2003) memerlukan wahana psiko-pedagogis (pengembangan potensi peserta didik di sekolah) dan sosio-andragogis (fasilitasi pemberdayaan pemuda dan orang dewasa dalam masyarakat) yang memungkinkan terjadinya proses belajar berdemokrasi sepanjang hayat dalam konteks kehidupan berkonstitusi.
2. Transformasi demokrasi dalam kehidupan berkonstitusi Indonesia memerlukan konsepsi yang diyakini benar dan bermakna yang didukung dengan sarana pendidikan yang tepat sasaran, tepat strategi, dan tepat konteks agar setiap individu warganegara mampu memerankan dirinya sebagai warganegara yang sadar konstitusi, cerdas, demokratis, berwatak, dan berkeadaban.
3. Pendidikan berkonstitusi yang dilakukan melalui pendidikan kewarganegaraan dalam konteks pendidikan formal, nonformal, dan informal selama ini belum mencapai sasaran optimal dalam mengembangkan masyarakat yang cerdas, baik, berwatak, dan berkeadaban. Untuk itu diperlukan upaya sistematis dan sistemik untuk mengembangkan model pendidikan berkonstitusi yang secara teoritis dan empiris valid, dan secara kontekstual handal dan akseptabel untuk kehidupan demokrasi di Indonesia.
4. Secara psiko-pedagogis dan sosio-andragogis, pendidikan berkonstitusi yang dianggap paling tepat adalah pendidikan untuk mengembangkan kewarganegaraan yang demokratis (education for democratic citizenship), yang di dalamnya mewadahi pendidikan tentang, melalui, dan untuk membangun demokrasi konstitusional (education about, through, and for democracy).
5. Untuk mendapatkan model pendidikan berkonstitusi dalam rangka pendidikan kewarganegaraan yang secara psiko-pedagogis dan secara sosio-andragogis akseptabel dan handal, diperlukan upaya untuk mengkaji kekuatan konteks, kehandalan masukan, dan proses guna menghasilkan perilaku warganegara Indonesia yang sadar dan hidup berkonstitusi menurut UUD 1945.
BAB III
KONSTITUSI YANG PERNAHBERLAKU DI INDONESIA
1. Konstitusi Yang Penah Berlaku di Indonesia
Konstitusi dinegara kita adlah UUD 1945. UUD 1945 ialah hukum dasar yg tertulis Sebagai hukum dasar, UUD 1945 merupakan sumber hukum. Jadi,semua perundang undangan dan peratura-peraturan harus bersumber pada UUD 1945.
A. UUD 1945 ( 18 Agustus 1945-27 Desember 1949 )
Semua Negara perlu memiliki UUD/ konstitusi. Indonesia sebagai suatu Negara juga memiliki UUD yg kita sebut UUD 1945. Untuk lebih jelas mempelajari UUD 1945, akan diuraikan sebagai berikut:
1. Persiapan Pembentukan UUD 1945
2. Pengesahan UUD 1945
3. Sistematika UUD 1945
4. Konstitusi RIS 27 Desember 1949-17 Agustus 1950
Pada tanggal 23 Agustus 1949-2 September 1949, dikota denhaag (Belanda) diadakan Konferensi Meja Bundar (KMB). Dengan bentuk Negara federasi, RIS meliputi beberapa daerah Indonesia seperti dinyatakan dalam pasal 2 konstitusi RIS 1949.
B. UUDS 1950 (17 Agustus 1950-5 Juli 1959)
Republik Indonesia Serikat terdiri atas 16 negara bagian.RIS yg berdiri sejak tanggal 27 Desember 1949 hanya berlaku kurang dari satu tahun. UUDS 1950 terdiri atas beberapa bagian-bagian ,yaitu sebagai berikut.
1. Mukadimah yang terdiri atas empat alinea, terdapat rumusan pancasila sebagai dasar Negara.
2. Batang tubuh yang terdiri atas 6 Bab 147.
C. UUD 1945 (5 Juli 1959-11 Maret 1966)
UUD 1950 adalah UUD sementara yang berlaku sampai konstituante dapat menyusun dan menetap kan UUD. Pada tahun 1955, pemilihan umum di laksanakan.
D. UUD 1945 setelah Amandemen (19 Oktober 1999-sekarang )
MPR RI telah melakukan perubahan UUD 1945 sebagai salah satu tuntutan reformasi. UUD 1945 setelah di Amandemen. Jadi, konstitusi yang pernah berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah UUD 1945, Konstitusi RIS, UUDS 1950, UUD 1945 hasil Amandemen.
DAFTAR PUSTAKA
Budimansyah, D dan Suryadi, K. (2008). PKn dan Masyarakat Multikultural. Bandung: Program Studi PKn SPs UPI.
Faiz, P. M. (2007). Menabur Benih Constitutional Complain. [Online]. Tersedia:http://www.yahoo.com/pqdweb. Html [20 Oktober 2007]
Gaffar, J.M. (2007). Mengawal Konstitusi. [Online]. Tersedia: http://www.koransindo.com Html [25 Oktober 2007]
Riyanto, A.(2000). Teori Konstitusi. Bandung: Yapemdo
Winataputra, U.S. (2007). Pendidikan Kesadaran Berkonstitusi: Alternatif Model Pembelajaran Kreatif-Demokratis untuk Pendidikan Kewarganegaraan. [Online]. Tersedia:http://www.depdiknas.go.id . html [4 Desember 2007]
0 komentar: