Sistem Ekonomi dalam ISLAM
Sistem Ekonomi dalam
Islam ditegakkan diatas tiga tiang utama, yakni konsep kepemilikan (al-milkiyah) , pemanfaatan kepemilikan (al-thasharruf fi al-milkiyah) dan distribute kekayaan diantara manusia (tauzi’u
tsarwah bayna al-naas). Kepemilikan ini dibagi tiga, yakni :
1. kepemilikan individu (milkiyatu al-fardiyah) ,
yaitu kepemilikan atas izin syar’i pada seseorang untuk memanfaatkan harta itu
kerana sebab-sebab kepemilikan harta yang diakui oleh syara’;
2. kepemilikan umum (milkiyatul al-‘amah), adalah
harta yang mutlak diperlukan manusia dalam kehidupan sehari-hari (api, padang
rumput, sungai, danau, jalan, lautan, mesjid, udara, emas, perak dan minyak
wangi.dsb) yang dimanfaatkan secara bersama-sama. Pengelolaan milik umum ini
hanya dilakukan oleh negara untuk seluruh rakyat, dengan diberikan percuma atau
dengan harga murah hanya mengambil sedikit upah perkhidmat ; dan
3. kepemilikan negara (milkiyatul al-daulah),
harta yang pemanfaatannya berada ditangan seorang pemimpin sebagai kepala negara.
Milik negara digunakan untuk berbagai keperluan yang menjadi kewajiban negara,
seperti menggaji pegawai negara, keperluan jihad dan sebagai.
Kepemilikan individu
adalah izin dari syara’ (Allah SWT) yang memungkinkan siapa saja untuk
memanfaatkan dzat maupun kegunaan (utility) suatu barang serta memperoleh
kompensasi – baik karena barangnya diambil kegunaannya oleh orang lain seperti
disewa, ataupun karena dikonsumsi untuk dihabiskan zatnya seperti dibeli – dari
barang tersebut (AnNabhani, 1996; Yusanto, 1998). Setiap orang bisa memiliki
barang atau harta melalui cara-cara tertentu, yang disebut sebab-sebab
kepemilikan (asbabu al-tamalluk) .
Pengkajian terhadap
hukum-hukum syara’ menunjukkan bahwa sebab-sebab kepemilikan individu terdiri
dari lima perkara, yakni:
·
Bekerja (al-a'mal)
·
Warisan (al-irts)
·
Harta untuk menyambung
hidup
·
Harta pemberian negara
(i'thau al-daulah)
·
Harta-harta yang
diperoleh oleh seseorang dengan tanpa mengeluarkan daya dan upaya apapun.
Dalam konteks bisnes,
dari kelima sebab di atas hanya sebab pertamalah yang dapat dikategorikan ke
dalam kegiatan bisnes. Bekerja dalam pandangan Islam diarahkan dalam rangka
mencari kurnia rezki Allah SWT. Yakni untuk mendapatkan harta agar seseorang
dapat mencukupi keperluan hidupnya, sejahtera dan dapat menikmati perhiasan
dunia. Dan agar bernilai ibadah, maka pekerjaan yang dilakukan itu harus
merupakan pekerjaan yang halal. Sehingga harta yang didapatnya juga merupakan
harta yang sah atau halal karena melalui cara yang halal.
Politik Ekonomi Islam
Politik ekonomi adalah tujuan yang ingin dicapai oleh
hukum-hukum yang mengatur berbagai urusan manusia. Politik ekonomi Islam adalah
jaminan pemenuhan seluruh kebutuhan pokok bagi setiap individu secara
menyeluruh, dan pemberian peluang kepada individu untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan pelengkap menurut kemampuan-nya, dengan memandangnya
sebagai individu yang hidup dalam masyarakat tertentu yang memiliki cara hidup
yang khas. Politik ekonomi Islam tidak lain merupakan solusi bagi masalah-masalah
mendasar bagi setiap individu dengan memandangnya sebagai manusia yang hidup
sesuai dengan pola interaksi tertentu, serta memberikan peluang kepadanya untuk
meningkatkan taraf hidupnya dan mewujudkan kemakmuran bagi dirinya di dalam
cara hidup yang khas.
Ketika Islam mensyariatkan hukum-hukum perekonomian bagi
manusia, maka itu ditujukan untuk individu. Pada saat yang sama, Islam menjamin
hak hidup dan mewujudkan kemakmuran. Islam menetapkan hal itu direalisasikan di
dalam masyarakat tertentu yang memiliki cara hidup yang khas. Oleh karena itu,
syariah memberikan hukum-hukum yang menjadi mekanisme yang menjamin terwujudnya
pemuasan seluruh kebutuhan pokok secara menyeluruh bagi setiap individu rakyat.
Mekanisme itu sebagai berikut:
- Islam mewajibkan laki-laki yang mampu untuk bekerja
guna memenuhi kebutuhan pokok bagi dirinya dan orang yang wajib dia
nafkahi (QS 67: 15).
- Islam mewajibkan para ayah untuk menanggung nafkah.
Jika ayah tidak mampu maka kewajiban beralih kepada ahli warisnya (QS 2:
233).
- Jika tidak ada orang yang wajib menanggung nafkah
mereka, Islam mewajibkannya atas Baitul Mal. Dengan mekanisme ini, Islam
telah memberikan jaminan pemenuhan kebutuhan pokok—yaitu kebutuhan pangan,
papan dan sandang—bagi setiap individu, perindividu.
Siapapun penduduk negeri yang bangun pagi, sementara di
tengah-tengah mereka terdapat orang yang kelaparan, maka jaminan Allah dan Rasul-Nya
telah terlepas dari mereka.
Kemudian Islam mendorong individu itu bekerja dan menikmati
kekayaan yang dia peroleh (QS 5: 88; 67: 15). Hal itu untuk merealisasikan
kemajuan ekonomi di negeri tersebut, untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok
bagi tiap-tiap individu, serta memberi peluang individu itu untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan pelengkapnya.
Untuk
itu, Islam tidak memperumit cara yang digunakan manusia untuk mendapatkan harta
itu. Islam menetapkannya dengan sangat sederhana, yakni dengan membatasi
sebab-sebab kepemilikan dan membatasi akad-akad dalam pertukaran kepemilikan.
Islam membiarkan manusia untuk berkreasi dalam hal cara dan sarana yang
digunakan untuk memperoleh harta; Islam tidak ikut campur dalam teknik
produksi harta.
Pandangan Islam Terhadap Harta
Sesungguhnya
harta adalah alat untuk tiga tujuan: tabungan (iddikhâr), belanja (infâq),
dan sirkulasi (tadâwul).
Islam
telah menetapkan hukum-hukum bagi masing-masing peruntukan harta itu yang
menjamin harta tetap sebagai pelayan manusia untuk dimanfaatkan dan memberikan
manfaat kepada orang lain; bukan sebaliknya, yaitu manusia menjadi hamba dan
pelayan harta yang menimbulkan bahaya bagi diri sendiri dan orang lain.
Mengenai
hukum tabungan (iddikhâr), seseorang boleh menabung mengumpulkan biaya
untuk keperluannya. Namun, atas harta tabungan harus ditunaikan zakatnya
setelah berlalu satu haul dan telah mencapai nishâb zakat.
Adapun menabung hanya sekadar untuk menabung, menimbun dan menghimpunnya saja
adalah haram (QS 9: 34).
Mengenai
belanja (infâq), Islam menetapkan mana pembelanjaan yang wajib, yang
sunah, mubah, makruh dan yang haram.
Adapun
masalah sirkulasi (tadâwul), Islam telah mengaturnya melalui dua aspek:
- Islam menetapkan uang dan membatasinya dengan emas dan
perak, bukan yang lain.
- Islam menjelaskan berbagai muamalah syar’i yang
sah, seperti hukum-hukum perseroan (syirkah), akad sewa dan tenaga
kerja (ijârah), perdagangan (tijârah), pertanian, mengairi
kebun (musâqah), jual-beli, pesanan (salam), penukaran uang
(sharf), wakalah, dan seterusnya. Islam juga menetapkan bahwa
industri mengikuti hukum barang yang diproduksi.
Pandangan Islam Terhadap Uang
Islam telah menentukan emas dan perak sebagai mata uang. Islam
telah menetapkan hanya emas dan perak saja yang menjadi standar mata uang untuk
mengukur barang dan jasa. Berdasarkan asas emas dan perak berlangsung semua
bentuk muamalah. Islam menetapkan standar untuk uang emas (dinar) dan perak
(dirham): 1 dinar=4,25 gram emas murni dan 1 dirham=2,975 gram perak murni.
Pengharaman Riba Secara Keras
Nash-nash syariah telah mengharamkan riba dengan sangat keras.
Nash-nash itu bersifat qath’i ats-tsubût (pasti sumbernya)
dan qath’i ad-dilâlah (pasti pengertiannya), tidak menyisakan
ruang bagi ijtihad atau penakwilan (QS 2: 275–279).
Karena itu, sistem keuangan di negara Khilafah tidak mengenal
bank dan lembaga kredit ribawi yang sudah masyhur di dalam Kapitalisme.
Ketiadaan lembaga ribawi ini memiliki tiga dimensi dalam menjamin kehidupan
perekonomian yang aman:
- Mengarahkan fokus masyarakat pada ekonomi produktif
atau sektor riil.
- Melindungi kaum Muslim dan ahl adz-dzimmah dari
kerugian harta mereka karena riba.
- Tidak akan memunculkan fenomena kebangkrutan,
sebagaimana terlihat pada bank-bank kapitalis, dan menyisakan kelompok
besar orang yang kehilangan harta mereka atau rekening mereka menguap.
Dengan menghalangi sistem riba dan mengharamkannya secara keras dan tegas,
Islam telah menutup celah-celah yang memungkinkan masuknya krisis
keuangan. Dengan itu kehidupan kaum Muslim akan tetap aman, kokoh dan kuat
terhadap krisis.
Selain itu, Islam mendorong kaum Muslim untuk saling memberi
utang di antara mereka. Lebih dari itu, di antara tugas berbagai institusi
(direktorat) di negara Khilafah adalah menyediakan kredit tanpa riba dalam
sektor pertanian, perdagangan dan industri, dalam kerangka program negara untuk
mengembangkan perekonomian dan menjalankan berbagai kebijakannya untuk
memerangi kemiskinan dengan menciptakan lapangan kerja dan menjamin produksi
barang.
Distribusi dan Kepemilikan Harta
Hukum-hukum distribusi harta dalam Islam mencakup sebuah
pemahaman yang unik, yaitu kepemilikan umum. Islam menetapkan kepemilikan dalam
negara Khilafah ada tiga jenis: kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan
kepemilikan negara. Negara adalah pihak yang melindungi dan menjaga ketiga
jenis kepemilikan itu sesuai dengan hukum-hukum syariah.
Kepemilikan umum mencakup:
1. Harta
yang dari sisi pembentukannya tidak mungkin dimiliki secara individu, seperti
sungai, danau, laut, dsb.
2. Apa
saja yang menjadi hajat hidup orang banyak seperti jalan, masjid, dsb; termasuk
yang disabdakan oleh Rasulullah saw.:
Kaum Muslim berserikat dalam tiga jenis harta: air, padang
gembalaan dan api.
Termasuk dalam cakupan pengertian api adalah seluruh jenis
energi yang digunakan sebagai bahan bakar bagi industri, mesin, dan
transportasi. Demikian pula industri gas yang digunakan sebagai bahan bakar dan
industri batubara. Semua itu adalah kepemilikan umum.
3. Barang
tambang yang depositnya banyak dan tidak terputus; baik yang berbentuk padat,
cair maupun gas; baik tambang dipermukaan maupun di dalam perut
bumi. Semuanya merupakan kepemilikan umum.
Negara Khilafah adalah pihak yang mengelola berbagai kekayaan
itu baik dalam hal eksplorasi, penjualan, maupun pendistribusiannya. Negara
Khilafah-lah yang menjamin hak setiap rakyat untuk menikmati haknya dalam
kepemilikan umum tersebut. Negara Khilafah mendistribusikan hasil bersihnya,
setelah dikurangi biaya-biaya, dalam bentuk zatnya dan atau dalam bentuk
pelayanan kepada semua warga negara.
Adapun kepemilikan negara ada pada harta yang
hak pengelolaannya berada di tangan Khalifah sesuai dengan pandangan dan
ijtihadnya, seperti harta fai’, kharâj serta harta
orang yang tidak memiliki ahli waris dan semisalnya, dengan syarat syariah
memang tidak menentukan arah pengelolaannya. Khalifah mengelola kepemilikan
negara sesuai dengan pandangan dan ijtihadnya dalam berbagai urusan negara dan
rakyat. Misal: untuk menciptakan keseimbangan finansial di tengah
masyarakat sehingga harta itu tidak hanya beredar di tangan orang-orang kaya
saja (QS 59: 7). Khalifah boleh memberikan harta itu kepada orang miskin saja
dan tidak memberikannya kepada orang kaya. Hal itu seperti yang pernah
dilakukan Rasulullah dalam pembagian fai’ Bani Nadhir.
Sementara itu, kepemilikan individu adalah
harta yang pengelolaannya diserahkan kepada individu, pada selain harta milik
umum. Kepemilikan individu itu terlindungi. Negara tidak boleh melanggarnya.
Tidak ada seorang pun yang boleh merampasnya, termasuk negara sekalipun.
Nasionalisasi, yaitu penguasaan negara terhadap kepemilikan individu, merupakan
bentuk perampasan dan merupakan dosa besar.
Bursa dan pandangan Islam Terhadapnya
Pasar
modal dan bursa berjangka komoditas dalam sistem Kapitalisme berperan penting
seperti riba dalam mengkonsentrasikan kekayaan pada tangan segelintir orang.
Lebih dari itu, bursa juga menghalangi sirkulasi harta di sektor riil, dan
mengubahnya menjadi per-ekonomian angka dan kertas (ekonomi non-riil).
Dalam
pandangan Islam, pasar jual beli harus diatur dengan hukum syariah yang
menjamin tidak adanya konflik dan tidak adanya aktivitas memakan harta dengan
jalan yang batil. Di antara hukum-hukum itu adalah:
1. Melarang penjualan barang yang belum dimiliki
oleh penjual dan belum berada di bawah kuasanya seperti yang terjadi dalam
bursa berjangka komoditas.
2. Melarang tanâjusy atau
spekulasi, yaitu menaikkan tawaran bukan untuk membeli, tetapi hanya untuk
menaikkan harga jual.
3. Melarang jual-beli enam jenis komoditas ribawi
(emas dan perak [termasuk uang], gandum, jewawut, kurma, dan garam) tanpa
serah-terima secara langsung dalam jual-beli antar jenis yang berbeda; dan
tanpa serah-terima langsung dan kesamaan jumlah dalam jual pada jenis yang
sama.
4. Melarang sirkulasi saham karena perseroan
terbatas (PT) dan sahamnya adalah batil (tidak sah). Saham itu merupakan surat
berharga yang mengandung campuran antara
sejumlah
modal yang halal dan keuntungan yang haram, dalam satu akad yang batil dan
muamalah yang batil, tanpa bisa dibedakan antara harta yang halal dan yang
haram. Syariah Islam juga melarang sirkulasi dan jual-beli obligasi (bonds).
Sebab, obligasi merupakan surat utang yang diinvestasikan dengan riba. Apalagi
ada keharaman jual-beli utang dengan utang. Sirkulasi dan jual beli
seluruh surat berharga ribawi juga dilarang.
Walhasil,
pasar jual-beli dalam Islam merealisasikan perdagangan yang halal, aman serta
bebas dari krisis, konflik, spekulasi, gambling, dan penipuan.
Pasar dalam Islam merupakan pasar yang bersih yang senantiasa memperhatikan
hukum-hukum syariah dalam sirkulasi harta.
Pengaturan Perekonomian oleh Negara
Negara
wajib menjamin penciptaan lapangan kerja bagi setiap warga negara. Orang miskin
yang tidak mampu bekerja dan tidak memiliki kerabat yang wajib menafkahinya,
begitu pula orang fakir yang mampu bekerja tetapi tidak menemukan pekerjaan,
sementara ia tidak memiliki kerabat yang wajib menafkahinya, maka nafkah mereka
ini menjadi kewajiban negara.
Jadi,
bagi orang yang mampu, negara bertanggung jawab menciptakan lapangan kerja.
Bagi orang yang tidak mampu, negara berkewajiban memenuhi kebutuhan mereka dari
harta Baitul Mal. Hukum-hukum ini mencakup pula kaum dzimmi yang
tinggal di Dâr al-Islâm. Mereka diberi hak yang sama sebagai rakyat
dan warganegara. Mereka berhak mendapatkan pemeliharaan berbagai urusan mereka
dan jaminan kehidupan mereka sebagaimana yang dinikmati kaum Muslim.
Kontrol dalam Sistem Ekonomi Islam
Lembaga-lembaga
kontrol akan menjamin lurusnya sistem ekonomi menurut arahan yang telah
dijelaskan dalam syariah. Lembaga-lembaga kontrol dalam Sistem Ekonomi
Islam dapat diringkas sebagai berikut:
- Kekuasaan al-Hisbah (wilâyah
al-hisbah). Al-Muhtasib (hakim hisbah)
melakukan kontrol terhadap pasar, timbangan, takaran, dan penipuan di
pasar dan tempat-tempat umum serta memonitor berbagai pelanggaran lainnya.
- Kekuasaan peradilan (wilâyah al-qadhâ’).
Peradilan menyelesaikan semua perselisihan, termasuk perselisihan
finansial dan ekonomi, yang kadang muncul dalam muamalah keseharian
masyarakat.
- Berbagai biro (diwân), yaitu berbagai alat untuk
mengontrol dan mengaudit aliran harta di Baitul Mal yang terkait dengan
harta zakat, harta negara, dan harta yang termasuk kepemilikan umum. Biro tersebut
menangani kontrol terhadap pemungutan dan pembelanjaan agar setiap aliran
harta terjadi pada tempatnya secara benar.
- Kekuasaan Mazhalim (wilâyah
al-mazhâlim). Mazhâlim menangani pengaduan yang
diajukan melawan penguasa jika mereka melakukan kezaliman terhadap rakyat
dalam segala kebijakan di segala bidang, termasuk kebijakan finansial dan
ekonomi
Ilmu
ekonomi Islam pada dasarnya merupakan perpaduan antara dua jenis ilmu yaitu
ilmu ekonomi dan ilmu agama Islam (fiqh mu’amalat). Sebagaimana layaknya ilmu-ilmu
lain, ilmu eknomi Islam juga memiliki dua objek kajian yaitu objek formal dan
objek material. Objek formal ilmu ekonomi Islam adalah seluruh sistem produksi
dan distribusi barang dan jasa yang dilakukan oleh pelaku bisnis baik dari
aspek prediksi tentang laba rugi yang akan dihasilkan maupun dari aspek
legalitas sebuah transaksi. Sedangkan objek materialnya adalah seluruh ilmu
yang terkait dengan ilmu ekonomi Islam.
Dengan mengetahui objek formal dan material sebuah ilmu, maka
akan dapat ditelusuri eksistensinya melalui tiga pendekatan yang selalu
dipergunakan dalam filsafat umum yaitu pendekatan ontologis, epistemologis, dan
aksiologis . Pendekatan ontologis dijadikan sebagai acuan untuk menentukan
hakikat dari ilmu ekonomi Islam. Sedangkan pendekatan epistemologis
dipergunakan untuk melihat prinsip-prinsip dasar, ciri-ciri, dan cara kerja
ilmu ekonomi Islam. Dan pendekatan aksiologis diperlukan untuk melihat fungsi
dan kegunaan ilmu ekonomi Islam dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang
dihadapi manusia dalam kehidupan sehari-hari.
Secara ontologis, ilmu ekonomi Islam membahas dua disiplin ilmu
secara bersamaan. Kedua disiplin ilmu itu adalah ilmu ekonomi murni dan ilmu
fiqh mu’amalat. Dengan demikian, dalam operasionalnya ilmu ekonomi Islam akan
selalu bersumber dari kedua disiplin ilmu tersebut. Persoalan ontologis yang
muncul kemudian adalah bagaimana memadukan antara pemikiran sekular ilmu
ekonomi dengan pemikiran sakral yang terdapat dalam fiqh mu’amalat. Persoalan
ini muncul mengingat bahwa sumber ilmu ekonomi Islam adalah pemikiran manusia
sedangkan sumber fiqh mu’amalat adalah wahyu yang didasarkan pada petunjuk
Al-Qur’an dan Hadits Nabi. Perbedaan sumber ilmu pengetahuan ini menyebabkan
munculnya perbedaan penilaian terhadap problematika ekonomi manusia. Sebagai
contoh, ilmu ekonomi akan menghalalkan sistem ekonomi liberal, kapitalis, dan
komunis sejauh itu dapat memuaskan kebutuhan hidup manusia. Tetapi sebaliknya,
fiqh mu’amalat belum tentu dapat menerima ketiga sistem itu karena dia masih
membutuhkan legislasi dari Al-Qur’an dan Hadits.
Dari sisi lain, teori kebenaran ilmu ekonomi Islam dan ilmu fiqh
mu’amalat tentu saja berbeda secara diametral. Tolok ukur kebenaran dalam ilmu
ekonomi selalu mengacu kepada tiga teori kebenaran yang dipakai dalam filsafat
ilmu yaitu teori koherensi (kesesuaian dengan teori yang sudah ada), teori
korespondensi (kesesuaian dengan fenomena yang ada), dan teori pragmatisme
(kesesuaian dengan kegunaannya) . Sedangkan teori kebenaran fiqh mu’amalat
mengacu secara ketat terhadap wahyu. Artinya, transaksi ekonomi akan dipandang
benar bilamana tidak terdapat larangan dalam wahyu. Berdasarkan perbedaan
sumber pengetahuan dan teori kebenaran yang digunakan, maka tentu saja sulit
untuk memadukan antara ilmu ekonomi dengan fiqh mu’amalat. Bahkan secara
faktual diakui bahwa pemberlakuan sistem ekonomi Islam dalam bidang perbankan
dan asuransi hampir sama dengan yang terdapat dalam sistem ekonomi
konvensional.
Selanjutnya, dari sudut pandang epistemologi dapat diketahui
bahwa ilmu ekonomi diperoleh melalui pengamatan (empirisme) terhadap gejala
sosial masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Pengamatan yang dilakukan
kemudian digeneralisasi melalui premis-premis khusus untuk mengambil kesimpulan
yang bersifat umum. Pada tahap ini, ilmu ekonomi menggunakan penalaran yang
bersifat kuantitatif . Perubahan dan keajegan yang diamati dalam sistem
produksi dan distribusi barang dan jasa kemudian dijadikan sebagai teori-teori
umum yang dapat menjawab berbagai masalah ekonomi. Sebagai sebuah contoh dapat
dilihat dari teori permintaan (demand) dalam ilmu ekonomi yang berbunyi
“apabila permintaan terhadap sebuah barang naik, maka harga barang tersebut
secara otomatis akan menjadi naik” . Teori tersebut diperoleh dari pengalaman
dan fakta di lapangan yang diteliti secara konsisten oleh para ahli ekonomi.
Berdasarkan cara kerja yang demikian, penemuan teori-teori ilmu ekonomi
dikelompokkan ke dalam context of discovery .
Berbeda dengan hal itu, fiqh mu’amalat diperoleh melalui
penelusuran langsung terhadap Al-Qur’an dan Hadits oleh para fuqaha. Melalui
kaedah-kaedah ushuliyah, mereka merumuskan beberapa aturan yang harus
dipraktekkan dalam kehidupan ekonomi umat. Rumusan-rumusan tersebut didapatkan
dari hasil pemikiran (rasionalisme) melalui logika deduktif. Premis mayor yang
disebutkan dalam wahyu selanjutnya dijabarkan melalui premis-premis minor untuk
mendapatkan kesimpulan yang baik dan benar. Dengan demikian, fiqh mu’amalat
menggunakan penalaran yang bersifat kualitatif . Salah satu contoh yang dapat
dikemukakan dalam kasus ini adalah kaedah ushuliyah yang berbunyi “al-ashlu fi
al-asyyai al-ibahah illa dalla dalilu ‘ala tahrimihi (asal dari segala sesuatu
adalah dibolehkan kecuali dating sebuah dalil yang mengharamkannya). Jika
diterapkan dalam ilmu ekonomi, maka seluruh transaksi bisnis pada dasarnya
diperbolehkan jika tidak ada nash yang mengharamkannya. Pelarangan terhadap
praktek bunga dan riba dalam perbankan konvensional hanya disebabkan adanya
beberapa nash yang mengharamkannya (misalnya lihat QS Al-Baqarah:275). Cara
kerja seperti ini dalam filsafat ilmu dikenal dengan context of justification .
Munculnya problem epistemologis sebagaimana disebutkan di atas
bersumber dari paradigma metodologis yang disusun oleh para ulama mutaqaddimin.
Bagi para ulama mutaqaddimin, misalnya, penyelidikan terhadap hukum didasarkan
atas prinsip tab’iyyah al-aql li an-naql . Ini berarti bahwa analisis hukum
adalah naqli atau analisis teks sesuai dengan anggapan tidak ada hukum di luar teks-teks
naqliyah. Sementara itu, mereka tidak pernah mengembangkan suatu metode
analisis sosial dan historis yang terartikulasi dengan baik, meskipun
Al-Ghazali telah membuat suatu paradigma pemaduan wahyu dan ra’yu dengan
mengembangkan teori mashlahat dengan dasar logika induksi yang sesungguhnya
memberi peluang bagi pengembangan analisis sosial . Dalam prakteknya,
Al-Ghazali kemudian Al-Syatibi sebagai dua tokoh mashlahat dalam hukum Islam
akhirnya jatuh juga dalam analisis tekstual seperti ulama-ulama lainnya.
Analisis tekstual tersebut berkembang di kalangan ulama fuqaha
secara konsisten dengan metodologi deduksi sebagai pilar utamanya. Padahal,
prasyarat perkembangan sebuah ilmu pengetahuan adalah dengan menggabungkan
metode deduksi dan induksi secara bersamaan. Salah satu kelebihan Imam Syafi’i
atas ulama lainnya justru dapat dilihat dari kepiawaiannya untuk menggabungkan
antara metode induksi-deduksi dalam fatwa-fatwanya. Sebagai contoh dapat
disebutkan bahwa Imam Syafi’i memerlukan penelitian lapangan untuk menentukan
jangka waktu terpendek dan terpanjang dari masa haid seorang wanita. Beliau
kemudian mengembangkannya dengan qiyas terhadap masalah lainnya, seperti
kewajiban shalat bagi wanita yang masa haidnya melebihi jangka waktu terlama
dari seorang wanita normal . Perpaduan antara penelitian lapangan dengan qiyas
yang dilakukan Imam Syafi’i tersebut secara tidak langsung mengantarkannya
kepada pemaduan antara metode induksi dan deduksi.
Dalam sejarah perkembangan hukum Islam, metode induksi-deduksi
juga dilakukan oleh Imam Syafi’i ketika dia melontarkan ijtihad baru berupa
qaul jadid untuk menggantikan qaul qadim-nya . Perubahan fatwa Imam Syafi’i itu
lebih didasarkan atas perbedaan lingkungan geografis kota Basrah dan kota
Mesir. Perbedaan lingkungan geografis itu kemudian disesuaikan dengan kaedah
deduktif dalam ilmu ushul fiqh yang berbunyi “taghayyar al-ahkam bi al-taghyar
al-azmanah wa al-amkinah.
Perbedaan antara ilmu ekonomi dan fiqh mu’amalat dapat
ditelurusi lebih dalam dari aspek aksiologisnya. Ilmu ekonomi pada hakikatnya
bertujuan untuk membantu manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya . Sedangkan
fiqh mu’amalat berfungsi untuk mengatur hukum kontrak (‘aqad) baik yang
bersifat sosial maupun komersil . Secara pragmatis dapat disebutkan bahwa ilmu
ekonomi lebih berorientasi materialis, sementara fiqh mu’amalat lebih terfokus
pada hal-hal yang bersifat normatif. Atau dengan kata lain, ilmu ekonomi
mempelajari teknik dan metode, sedangkan fiqh mu’amalat menentukan status hukum
boleh tidaknya sebuah transaksi bisnis .
Realitas di lapangan menunjukkan bahwa aspek aksiologis ilmu
ekonomi konvensional dapat saja bertentangan dengan aspek aksiologis fiqh
mu’amalat karena sesuatu yang sah dalam transaksi bisnis belum tentu sah dalam
pandangan fiqh mu’amalat. Sebagai contoh, modus transaksi kontemporer melalui
perantaraan internet tanpa memperlihatkan barang yang dijadikan objek maupun
tanpa kehadiran penjual dan pembeli dianggap sah dalam ilmu ekonomi sejauh
kedua belah pihak sama-sama menyetujui memorandum of understanding (MOU) yang
dibuat sebelumnya. Fiqh mu’amalat dengan sejumlah teorinya belum tentu menerima
transaksi tersebut. Sedikitnya terdapat dua kejanggalan dalam transaksi jenis
ini. Pertama tidak diperlihatkannya barang yang diperjualbelikan, dan kedua
tidak adanya aqad jual beli yang wajib diucapkan secara jelas oleh
masing-masing pihak.
Di samping problem epistemologis dalam filsafat ilmu yang
disebutkan di atas, ilmu ekonomi Islam juga mendapat tantangan yang cukup berat
dari ilmu ekonomi konvensional. Hal ini terjadi mengingat ilmu ekonomi yang
berkembang di dunia Barat dilandasi dengan kebebasan individu dalam melakukan
kontrak dengan syarat tidak merugikan satu sama lain. Konsep-konsep ekonomi
konvensional versi Barat perlu diredefinisi agar dapat disesuaikan dengan
kebutuhan syari’at Islam. Di antara konsep-konsep tersebut antara lain:
1. Konsep Harta
Masalah yang timbul dalam konsep harta adalah bahwa ilmu ekonomi konvensional tidak mengenal adanya nilai dalam pemilikan harta. Sejauh dapat menimbulkan nilai ekonomis, segala sesuatu dapat diakui sebagai harta. Tidak heran bila barang-barang haram seperti minuman keras dan daging babi termasuk property yang sah untuk dijadikan sebagai salah satu komoditi bisnis .
2. Konsep Uang
Pembahasan dalam fiqh mu’amalat mengasumsikan bahwa uang yang digunakan masyarakat adalah uang riil (real money) yaitu emas dan perak. Padahal sejak jaman penjajahan, uang emas dan perak tidak lagi digunakan sebagai alat tukar. Sebagai gantinya uang kertas menjadi alat tukar yang berlaku di tengah masyarakat. Para ulama berbeda pendapat tentang hukum uang kertas ini. Ada yang menganggap bahwa uang kertas tidak diterima dalam syariah karena bukan harta riil dan ada pula yang dapat menerimanya .
3. Konsep Bunga dan Riba
Dalam ilmu ekonomi, bunga merupakan asumsi yang tidak lagi menjadi bahan perdebatan meskipun sampai saat ini para ekonom masih sulit mencari justifikasi terhadapnya. Dalam ilmu fiqh mu’amalat istilah ini tidak dikenal meskipun pembahasan tentang hukum riba boleh dikatakan telah selesai dan para ulama sepakat mengharamkannya . Dengan konsep uang kertas (abstract money), konsep bunga dan riba menjadi pembahasan yang bekelanjutan.
4. Konsep Time Value of Money
Sebagian besar teori tentang menajemen keuangan dibangun berdasarkan konsep nilai dan waktu dari uang yang mengasumsikan bahwa nilai uang sekarang relatif lebih besar ketimbang di masa yang akan datang. Sedangkan di sisi lain, tidak didapati penjelasannya dalam fiqh mu’amalat meskipun perdebatan tentangn jual beli tangguh (ba’i mu’ajjal) termasuk diskusi yang tidak sedikit di antara para ulama .
1. Konsep Harta
Masalah yang timbul dalam konsep harta adalah bahwa ilmu ekonomi konvensional tidak mengenal adanya nilai dalam pemilikan harta. Sejauh dapat menimbulkan nilai ekonomis, segala sesuatu dapat diakui sebagai harta. Tidak heran bila barang-barang haram seperti minuman keras dan daging babi termasuk property yang sah untuk dijadikan sebagai salah satu komoditi bisnis .
2. Konsep Uang
Pembahasan dalam fiqh mu’amalat mengasumsikan bahwa uang yang digunakan masyarakat adalah uang riil (real money) yaitu emas dan perak. Padahal sejak jaman penjajahan, uang emas dan perak tidak lagi digunakan sebagai alat tukar. Sebagai gantinya uang kertas menjadi alat tukar yang berlaku di tengah masyarakat. Para ulama berbeda pendapat tentang hukum uang kertas ini. Ada yang menganggap bahwa uang kertas tidak diterima dalam syariah karena bukan harta riil dan ada pula yang dapat menerimanya .
3. Konsep Bunga dan Riba
Dalam ilmu ekonomi, bunga merupakan asumsi yang tidak lagi menjadi bahan perdebatan meskipun sampai saat ini para ekonom masih sulit mencari justifikasi terhadapnya. Dalam ilmu fiqh mu’amalat istilah ini tidak dikenal meskipun pembahasan tentang hukum riba boleh dikatakan telah selesai dan para ulama sepakat mengharamkannya . Dengan konsep uang kertas (abstract money), konsep bunga dan riba menjadi pembahasan yang bekelanjutan.
4. Konsep Time Value of Money
Sebagian besar teori tentang menajemen keuangan dibangun berdasarkan konsep nilai dan waktu dari uang yang mengasumsikan bahwa nilai uang sekarang relatif lebih besar ketimbang di masa yang akan datang. Sedangkan di sisi lain, tidak didapati penjelasannya dalam fiqh mu’amalat meskipun perdebatan tentangn jual beli tangguh (ba’i mu’ajjal) termasuk diskusi yang tidak sedikit di antara para ulama .
5. Konsep Modal
Modal dalam pengertian ilmu ekonomi adalah segala benda, baik yang fisik maupun yang abstarak, yang memiliki nilai ekonomis dan produktif. Termasuk dalam pengertian ini adalah uang dan intellectual property right. Dalam fiqh mu’amalat klasik, pengertian modal terbatas pada benda fisik. Uang hanya dapat berperan sebagai alat tukar. Apabila ia ingin menjadi modal yang digunakan untuk memperoleh keuntungan ia harus terlebih dahulu diubah ke dalam bentuk fisik .
6. Konsep Lembaga
Ilmu ekonomi tidak mempersoalkan adanya individual entity atau abstract entity. Berbeda halnya dengan fiqh mu’amalat yang objeknya kepada mukallaf secara individual. Hal ini akan membawa dampak bagi analisa tentang kepemilikan dan hubungannnya dengan kepemilikan .
Problem epistemologis ilmu ekonomi Islam dan tantangan yang
diberikan oleh ilmu ekonomi konvensional yang disebutkan di atas dapat
berimplikasi, baik secara langsung maupun tidak langsung, kepada out put yang
dihasilkan oleh jurusan ekonomi Islam. Fiqh mu’amalat yang diajarkan di jurusan
ekonomi Islam tidak mampu untuk menghasilkan para sarjana muslim yang diterima
oleh dunia kerja. Alasannya adalah bahwa skill dan penguasaan terhadap ekonomi
real lebih dibutuhkan sektor industri dan dunia kerja dibandingkan dengan
keahlian dalam masalah istimbath al-ahkam.
Demikian juga dunia perbankan, asuransi, dan pasal modal. Sektor
ini lebih membutuhkan sarjana-sarjana yang menguasai ilmu-ilmu praktis seperti
akuntansi, statistika, dan matematika ekonomi. Penguasaan terhadap ilmu-ilmu
praktis menjadi hal yang sangat esensial mengingat modal yang diputarkan dalam
bidang tersebut hanya dapat dikalkulasikan dengan ilmu-ilmu tersebut.
Perusahaan-perusahaan komersil tentu tidak mau rugi hanya dikarenakan miss
management yang seharusnya tidak terjadi bila mereka mempekerjakan orang-orang
yang menguasai bidang tersebut secara baik.
0 komentar: