Ilmu Ekonomi dalam Islam
Ilmu ekonomi Islam pada
dasarnya merupakan perpaduan antara dua jenis ilmu yaitu ilmu ekonomi dan ilmu
agama Islam (fiqh mu’amalat). Sebagaimana layaknya ilmu-ilmu lain, ilmu eknomi
Islam juga memiliki dua objek kajian yaitu objek formal dan objek material.
Objek formal ilmu ekonomi Islam adalah seluruh sistem produksi dan distribusi
barang dan jasa yang dilakukan oleh pelaku bisnis baik dari aspek prediksi
tentang laba rugi yang akan dihasilkan maupun dari aspek legalitas sebuah
transaksi. Sedangkan objek materialnya adalah seluruh ilmu yang terkait dengan
ilmu ekonomi Islam.
Dengan mengetahui objek
formal dan material sebuah ilmu, maka akan dapat ditelusuri eksistensinya
melalui tiga pendekatan yang selalu dipergunakan dalam filsafat umum yaitu
pendekatan ontologis, epistemologis, dan aksiologis . Pendekatan ontologis
dijadikan sebagai acuan untuk menentukan hakikat dari ilmu ekonomi Islam.
Sedangkan pendekatan epistemologis dipergunakan untuk melihat prinsip-prinsip
dasar, ciri-ciri, dan cara kerja ilmu ekonomi Islam. Dan pendekatan aksiologis
diperlukan untuk melihat fungsi dan kegunaan ilmu ekonomi Islam dalam
menyelesaikan berbagai persoalan yang dihadapi manusia dalam kehidupan
sehari-hari.
Secara ontologis, ilmu
ekonomi Islam membahas dua disiplin ilmu secara bersamaan. Kedua disiplin ilmu
itu adalah ilmu ekonomi murni dan ilmu fiqh mu’amalat. Dengan demikian, dalam
operasionalnya ilmu ekonomi Islam akan selalu bersumber dari kedua disiplin
ilmu tersebut. Persoalan ontologis yang muncul kemudian adalah bagaimana
memadukan antara pemikiran sekular ilmu ekonomi dengan pemikiran sakral yang
terdapat dalam fiqh mu’amalat. Persoalan ini muncul mengingat bahwa sumber ilmu
ekonomi Islam adalah pemikiran manusia sedangkan sumber fiqh mu’amalat adalah
wahyu yang didasarkan pada petunjuk Al-Qur’an dan Hadits Nabi. Perbedaan sumber
ilmu pengetahuan ini menyebabkan munculnya perbedaan penilaian terhadap
problematika ekonomi manusia. Sebagai contoh, ilmu ekonomi akan menghalalkan
sistem ekonomi liberal, kapitalis, dan komunis sejauh itu dapat memuaskan
kebutuhan hidup manusia. Tetapi sebaliknya, fiqh mu’amalat belum tentu dapat
menerima ketiga sistem itu karena dia masih membutuhkan legislasi dari
Al-Qur’an dan Hadits.
Dari sisi lain, teori
kebenaran ilmu ekonomi Islam dan ilmu fiqh mu’amalat tentu saja berbeda secara
diametral. Tolok ukur kebenaran dalam ilmu ekonomi selalu mengacu kepada tiga
teori kebenaran yang dipakai dalam filsafat ilmu yaitu teori koherensi
(kesesuaian dengan teori yang sudah ada), teori korespondensi (kesesuaian
dengan fenomena yang ada), dan teori pragmatisme (kesesuaian dengan
kegunaannya) . Sedangkan teori kebenaran fiqh mu’amalat mengacu secara ketat terhadap
wahyu. Artinya, transaksi ekonomi akan dipandang benar bilamana tidak terdapat
larangan dalam wahyu. Berdasarkan perbedaan sumber pengetahuan dan teori
kebenaran yang digunakan, maka tentu saja sulit untuk memadukan antara ilmu
ekonomi dengan fiqh mu’amalat. Bahkan secara faktual diakui bahwa pemberlakuan
sistem ekonomi Islam dalam bidang perbankan dan asuransi hampir sama dengan
yang terdapat dalam sistem ekonomi konvensional.
Selanjutnya, dari sudut
pandang epistemologi dapat diketahui bahwa ilmu ekonomi diperoleh melalui
pengamatan (empirisme) terhadap gejala sosial masyarakat dalam memenuhi
kebutuhan hidupnya. Pengamatan yang dilakukan kemudian digeneralisasi melalui
premis-premis khusus untuk mengambil kesimpulan yang bersifat umum. Pada tahap
ini, ilmu ekonomi menggunakan penalaran yang bersifat kuantitatif . Perubahan
dan keajegan yang diamati dalam sistem produksi dan distribusi barang dan jasa
kemudian dijadikan sebagai teori-teori umum yang dapat menjawab berbagai
masalah ekonomi. Sebagai sebuah contoh dapat dilihat dari teori permintaan
(demand) dalam ilmu ekonomi yang berbunyi “apabila permintaan terhadap sebuah
barang naik, maka harga barang tersebut secara otomatis akan menjadi naik” .
Teori tersebut diperoleh dari pengalaman dan fakta di lapangan yang diteliti
secara konsisten oleh para ahli ekonomi. Berdasarkan cara kerja yang demikian,
penemuan teori-teori ilmu ekonomi dikelompokkan ke dalam context of discovery .
Berbeda dengan hal itu,
fiqh mu’amalat diperoleh melalui penelusuran langsung terhadap Al-Qur’an dan
Hadits oleh para fuqaha. Melalui kaedah-kaedah ushuliyah, mereka merumuskan
beberapa aturan yang harus dipraktekkan dalam kehidupan ekonomi umat.
Rumusan-rumusan tersebut didapatkan dari hasil pemikiran (rasionalisme) melalui
logika deduktif. Premis mayor yang disebutkan dalam wahyu selanjutnya
dijabarkan melalui premis-premis minor untuk mendapatkan kesimpulan yang baik
dan benar. Dengan demikian, fiqh mu’amalat menggunakan penalaran yang bersifat
kualitatif . Salah satu contoh yang dapat dikemukakan dalam kasus ini adalah
kaedah ushuliyah yang berbunyi “al-ashlu fi al-asyyai al-ibahah illa dalla
dalilu ‘ala tahrimihi (asal dari segala sesuatu adalah dibolehkan kecuali
dating sebuah dalil yang mengharamkannya). Jika diterapkan dalam ilmu ekonomi,
maka seluruh transaksi bisnis pada dasarnya diperbolehkan jika tidak ada nash
yang mengharamkannya. Pelarangan terhadap praktek bunga dan riba dalam
perbankan konvensional hanya disebabkan adanya beberapa nash yang
mengharamkannya (misalnya lihat QS Al-Baqarah:275). Cara kerja seperti ini
dalam filsafat ilmu dikenal dengan context of justification .
Munculnya problem
epistemologis sebagaimana disebutkan di atas bersumber dari paradigma
metodologis yang disusun oleh para ulama mutaqaddimin. Bagi para ulama
mutaqaddimin, misalnya, penyelidikan terhadap hukum didasarkan atas prinsip
tab’iyyah al-aql li an-naql . Ini berarti bahwa analisis hukum adalah naqli
atau analisis teks sesuai dengan anggapan tidak ada hukum di luar teks-teks
naqliyah. Sementara itu, mereka tidak pernah mengembangkan suatu metode
analisis sosial dan historis yang terartikulasi dengan baik, meskipun
Al-Ghazali telah membuat suatu paradigma pemaduan wahyu dan ra’yu dengan
mengembangkan teori mashlahat dengan dasar logika induksi yang sesungguhnya
memberi peluang bagi pengembangan analisis sosial . Dalam prakteknya,
Al-Ghazali kemudian Al-Syatibi sebagai dua tokoh mashlahat dalam hukum Islam
akhirnya jatuh juga dalam analisis tekstual seperti ulama-ulama lainnya.
Analisis tekstual tersebut
berkembang di kalangan ulama fuqaha secara konsisten dengan metodologi deduksi
sebagai pilar utamanya. Padahal, prasyarat perkembangan sebuah ilmu pengetahuan
adalah dengan menggabungkan metode deduksi dan induksi secara bersamaan. Salah
satu kelebihan Imam Syafi’i atas ulama lainnya justru dapat dilihat dari
kepiawaiannya untuk menggabungkan antara metode induksi-deduksi dalam
fatwa-fatwanya. Sebagai contoh dapat disebutkan bahwa Imam Syafi’i memerlukan
penelitian lapangan untuk menentukan jangka waktu terpendek dan terpanjang dari
masa haid seorang wanita. Beliau kemudian mengembangkannya dengan qiyas
terhadap masalah lainnya, seperti kewajiban shalat bagi wanita yang masa
haidnya melebihi jangka waktu terlama dari seorang wanita normal . Perpaduan
antara penelitian lapangan dengan qiyas yang dilakukan Imam Syafi’i tersebut
secara tidak langsung mengantarkannya kepada pemaduan antara metode induksi dan
deduksi.
Dalam sejarah perkembangan
hukum Islam, metode induksi-deduksi juga dilakukan oleh Imam Syafi’i ketika dia
melontarkan ijtihad baru berupa qaul jadid untuk menggantikan qaul qadim-nya .
Perubahan fatwa Imam Syafi’i itu lebih didasarkan atas perbedaan lingkungan
geografis kota Basrah dan kota Mesir. Perbedaan lingkungan geografis itu
kemudian disesuaikan dengan kaedah deduktif dalam ilmu ushul fiqh yang berbunyi
“taghayyar al-ahkam bi al-taghyar al-azmanah wa al-amkinah.
Perbedaan antara ilmu
ekonomi dan fiqh mu’amalat dapat ditelurusi lebih dalam dari aspek
aksiologisnya. Ilmu ekonomi pada hakikatnya bertujuan untuk membantu manusia
dalam memenuhi kebutuhan hidupnya . Sedangkan fiqh mu’amalat berfungsi untuk
mengatur hukum kontrak (‘aqad) baik yang bersifat sosial maupun komersil .
Secara pragmatis dapat disebutkan bahwa ilmu ekonomi lebih berorientasi
materialis, sementara fiqh mu’amalat lebih terfokus pada hal-hal yang bersifat
normatif. Atau dengan kata lain, ilmu ekonomi mempelajari teknik dan metode,
sedangkan fiqh mu’amalat menentukan status hukum boleh tidaknya sebuah transaksi
bisnis .
Realitas di lapangan
menunjukkan bahwa aspek aksiologis ilmu ekonomi konvensional dapat saja
bertentangan dengan aspek aksiologis fiqh mu’amalat karena sesuatu yang sah
dalam transaksi bisnis belum tentu sah dalam pandangan fiqh mu’amalat. Sebagai
contoh, modus transaksi kontemporer melalui perantaraan internet tanpa
memperlihatkan barang yang dijadikan objek maupun tanpa kehadiran penjual dan
pembeli dianggap sah dalam ilmu ekonomi sejauh kedua belah pihak sama-sama
menyetujui memorandum of understanding (MOU) yang dibuat sebelumnya. Fiqh
mu’amalat dengan sejumlah teorinya belum tentu menerima transaksi tersebut.
Sedikitnya terdapat dua kejanggalan dalam transaksi jenis ini. Pertama tidak
diperlihatkannya barang yang diperjualbelikan, dan kedua tidak adanya aqad jual
beli yang wajib diucapkan secara jelas oleh masing-masing pihak.
Di samping problem
epistemologis dalam filsafat ilmu yang disebutkan di atas, ilmu ekonomi Islam
juga mendapat tantangan yang cukup berat dari ilmu ekonomi konvensional. Hal
ini terjadi mengingat ilmu ekonomi yang berkembang di dunia Barat dilandasi
dengan kebebasan individu dalam melakukan kontrak dengan syarat tidak merugikan
satu sama lain. Konsep-konsep ekonomi konvensional versi Barat perlu
diredefinisi agar dapat disesuaikan dengan kebutuhan syari’at Islam. Di antara
konsep-konsep tersebut antara lain:
1. Konsep Harta
Masalah yang timbul dalam konsep harta adalah
bahwa ilmu ekonomi konvensional tidak mengenal adanya nilai dalam pemilikan
harta. Sejauh dapat menimbulkan nilai ekonomis, segala sesuatu dapat diakui
sebagai harta. Tidak heran bila barang-barang haram seperti minuman keras dan
daging babi termasuk property yang sah untuk dijadikan sebagai salah satu
komoditi bisnis .
2. Konsep Uang
Pembahasan dalam fiqh mu’amalat mengasumsikan
bahwa uang yang digunakan masyarakat adalah uang riil (real money) yaitu emas
dan perak. Padahal sejak jaman penjajahan, uang emas dan perak tidak lagi
digunakan sebagai alat tukar. Sebagai gantinya uang kertas menjadi alat tukar
yang berlaku di tengah masyarakat. Para ulama berbeda pendapat tentang hukum
uang kertas ini. Ada yang menganggap bahwa uang kertas tidak diterima dalam
syariah karena bukan harta riil dan ada pula yang dapat menerimanya .
3. Konsep Bunga dan Riba
Dalam ilmu ekonomi, bunga merupakan asumsi yang
tidak lagi menjadi bahan perdebatan meskipun sampai saat ini para ekonom masih
sulit mencari justifikasi terhadapnya. Dalam ilmu fiqh mu’amalat istilah ini
tidak dikenal meskipun pembahasan tentang hukum riba boleh dikatakan telah
selesai dan para ulama sepakat mengharamkannya . Dengan konsep uang kertas
(abstract money), konsep bunga dan riba menjadi pembahasan yang bekelanjutan.
4. Konsep Time Value of Money
Sebagian besar teori tentang menajemen keuangan
dibangun berdasarkan konsep nilai dan waktu dari uang yang mengasumsikan bahwa
nilai uang sekarang relatif lebih besar ketimbang di masa yang akan datang.
Sedangkan di sisi lain, tidak didapati penjelasannya dalam fiqh mu’amalat
meskipun perdebatan tentangn jual beli tangguh (ba’i mu’ajjal) termasuk diskusi
yang tidak sedikit di antara para ulama .
5. Konsep Modal
Modal dalam pengertian ilmu ekonomi adalah segala
benda, baik yang fisik maupun yang abstarak, yang memiliki nilai ekonomis dan
produktif. Termasuk dalam pengertian ini adalah uang dan intellectual property
right. Dalam fiqh mu’amalat klasik, pengertian modal terbatas pada benda fisik.
Uang hanya dapat berperan sebagai alat tukar. Apabila ia ingin menjadi modal
yang digunakan untuk memperoleh keuntungan ia harus terlebih dahulu diubah ke
dalam bentuk fisik .
6. Konsep Lembaga
Ilmu ekonomi tidak mempersoalkan adanya individual
entity atau abstract entity. Berbeda halnya dengan fiqh mu’amalat yang objeknya
kepada mukallaf secara individual. Hal ini akan membawa dampak bagi analisa
tentang kepemilikan dan hubungannnya dengan kepemilikan .
Problem epistemologis ilmu
ekonomi Islam dan tantangan yang diberikan oleh ilmu ekonomi konvensional yang
disebutkan di atas dapat berimplikasi, baik secara langsung maupun tidak
langsung, kepada out put yang dihasilkan oleh jurusan ekonomi Islam. Fiqh
mu’amalat yang diajarkan di jurusan ekonomi Islam tidak mampu untuk
menghasilkan para sarjana muslim yang diterima oleh dunia kerja. Alasannya
adalah bahwa skill dan penguasaan terhadap ekonomi real lebih dibutuhkan sektor
industri dan dunia kerja dibandingkan dengan keahlian dalam masalah istimbath
al-ahkam.
Demikian juga dunia
perbankan, asuransi, dan pasal modal. Sektor ini lebih membutuhkan sarjana-sarjana
yang menguasai ilmu-ilmu praktis seperti akuntansi, statistika, dan matematika
ekonomi. Penguasaan terhadap ilmu-ilmu praktis menjadi hal yang sangat esensial
mengingat modal yang diputarkan dalam bidang tersebut hanya dapat
dikalkulasikan dengan ilmu-ilmu tersebut. Perusahaan-perusahaan komersil tentu
tidak mau rugi hanya dikarenakan miss management yang seharusnya tidak terjadi
bila mereka mempekerjakan orang-orang yang menguasai bidang tersebut secara
baik.
Agen Judi Poker dan Domino Uang Asli Resmi Terpercaya
BalasHapusmejaqq
diskonqq
qiuqiu99
bcaqq
taipanqq
hondaqq
jaguarqq
sahabatpoker
daftar nagaqq
kristalpoker